23. Change rooms

8.5K 966 638
                                    

"Pagi banget datengnya. Lo beneran udah sembuh, kan?" Violet mendekati Jeevans yang menjemputnya. Demi Jeevans, Violet rela melepaskan motor kesayangannya berdebu di dalam garasi. Dia memakai helm, berdiri dengan satu kaki tertekuk menatap Jeevans yang masih duduk di atas motornya.

"Saya sudah sembuh." Suara cowok itu serak. Dia menaikkan kaca helm full facenya, menunjukkan bagian matanya. "Lihat."

Violet menatap cermat mata Jeevans. Tidak seperti kemarin yang terlihat redup dan sayu, pagi ini mata cowok itu lembut seperti biasa dengan binar penuh harap bertengger di sana.

"Oke, gue percaya."

Jeevans menyengir. Dia hendak melepaskan jaketnya agar Violet bisa menutupi pahanya menggunakan itu ketika duduk di belakang. Tetapi Violet segera memelototinya.

"Lo mau sakit lagi? Baru sembuh jangan berlagak."

Cengiran Jeevans seketika luntur. Bibirnya sedikit manyun, sedih. Sayangnya ekspresi menggemaskan itu terhalangi oleh helmnya. "Kak Cathleen galak sekali."

"Emang." Violet memegang pundak Jeevans, naik ke jok belakang. "Gak usah sok sedih. Terima nasib aja punya cewek galak. Galak itu tandanya cinta."

"Seberapa besar?" Jeevans menanyakan dengan nada rendah, ingin Violet membujuknya.

"Sebesar Bima Sakti."

Bukannya puas, Jeevans malah mengeluh lembut. "Seharusnya kak Cathleen jawab tak terbatas. Cinta kakak hanya sebesar Bima Sakti? Padahal ada yang lebih besar dari Bima Sakti, yaitu Galaksi IC 1101. Diluar galaksi, ada juga hal terbesar di alam semesta yaitu bintang raksasa bernama UY Scuti. Tapi dari semua itu, yang paling besar adalah alam semesta itu sendiri."

Violet tanpa sadar mencubit pinggang Jeevans, membuat cowok itu meringis. "Lo sengaja cari kelemahan jawaban gue!"

"Ternyata begitu. Bahkan cinta kakak kepada saya tidak sebesar Galaksi IC 1101." Jeevans mencuatkan bibir. Karena sadar Violet tidak dapat melihat ekspresinya, dia mengutarakan apa yang dia rasa. "Saya sedih."

"Diem."

"Tidak. Saya harus memikirkan cara agar cinta kak Cathleen bisa berkembang sebesar alam semesta."

"Gue bilang diem." Violet mendekatkan wajah ke samping Jeevans dan berkata dengan suara mengancam. "Bandingkan hal gak berguna itu lagi atau gak ada pelukan buat hari ini?"

Mata Jeevans melebar. Ingin rasanya menyela. Bagaimana bisa Violet meremehkan besarnya cinta yang harus dia miliki untuk Jeevans? Tapi karena ancaman Violet, kalimat itu tersangkut di tenggorokannya lalu binar di matanya meredup.

"Saya mau cuddle..."

"Dikasih hati minta ginjal."

Jeevans cemberut. "Bukankah itu pertanda baik? Jelas-jelas harga hati lebih mahal dibanding ginjal. Menurut berita yang saya baca, sebuah organ hati bernilai 14 miliar, sedangkan harga ginjal bernilai 2,4 miliar. Saya meminta hal yang termurah sehingga tidak memberatkan kak Cathleen."

"Tuh mulut makin luwes aja ya gue liat-liat." Violet gemas. "Habis sakit, otak lo kebakar?"

"Saya hanya mengkoreksi..."

"Diem. Gue gigit juga lama-lama."

Jeevans segera mengatupkan bibirnya erat. Sepertinya ancaman ini efektif. Violet menyipitkan mata puas. "Ayo cepet berangkat."

"Peluk."

"Bawel." Violet menahan gemas sembari melingkarkan tangan di pinggang Jeevans.

Derita punya pacar lebih muda. Rasanya seperti mengasuh bocil!

***

"Kamar lo bagus."

Jasper dikagetkan oleh keberadaan Hinava di kamarnya. Baru pulang sekolah, dia malah harus berhadapan dengan gadis itu. Rasanya melelahkan, tapi dia tidak bisa marah.

Sudah tiga hari berada di rumah ini dan sering mencari Jasper di kamarnya, ini pertama kalinya Hinava mengomentari kamar tersebut. Jasper menatapnya, entah kenapa sedikit curiga.

"Lo izin berapa lama dari sekolah?" Jasper berusaha mengalihkan topik. Dia tidak tahu apa keperluan Hinava dan Gia di rumah ini. Tapi Gia jarang diam di rumah, entah ke mana wanita itu pergi.

"Awalnya tiga hari. Tapi sekarang gue mau seminggu." Hinava duduk di pinggir kasur Jasper. Matanya masih berkeliling di sekitar kamar itu dan mau tau mau merasa iri. "Kamar ini lebih bagus dari kamar gue."

Jasper diam, tidak berkutik. Dia tidak tahu kamar yang dimaksud Hinava itu kamar tamu di lantai bawah yang dia tempati dengan Gia atau kamar di rumah aslinya. Tapi sejauh dalam ingatan Jasper, kamar Hinava di rumah bak putri, karena dia adalah satu-satunya anak dan putri dari ayah tirinya.

"Perasaan kamar tamu sama kamar ini bentukannya sama deh." Jasper menanggapi sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Pada akhirnya dia menghubungkan komentar Hinava mengenai kamar tamu.

"Bagusan kamar ini, bego." Hinava mendengkus sambil menyilangkan kakinya. Matanya menyipit sejenak sebelum bibirnya melengkung untuk menyatakan tujuannya datang ke sini. "Gue mau tukeran kamar."

Jasper termangu. Benar saja, Hinava datang kepada pasti selalu dengan tujuan. "Kenapa?"

"Bukannya gue udah bilang kamar tamu jelek? Lagian gue gak mau dianggap tamu. Rumah kalian berarti rumah gue juga."

"Kamar gue paling pojok loh. Jendelanya aja menghadap ke bagian belakang rumah. Lo gak takut lihat hamparan hutan?" Jasper berusaha meyakinkan Hinava untuk tidak pindah. "Kamar tamu tuh paling pas. Deket dapur, jadi kalo lo laper atau haus bisa langsung ambil makanan dan minuman. Kalo ada gempa, lo bisa lari selametin diri lebih cepet!"

"Lo kira gue idiot bakal terbujuk sama kata-kata sampah lo? Pokoknya gue mau tidur di kamar ini ke depannya."

"Tapi—"

"Cepet beresin barang-barang lo. Punya kamar tamu lain, kan? Sementara waktu tidur di sana aja." Hinava memotong kalimat Jasper tak sabar. Dengan tak sopan dia membuka lemari Jasper, mengisyaratkan Jasper untuk segera berkemas karena dia ingin menempati kamar itu sekarang juga.

Jasper menghela nafas. Dia tidak punya tenaga untuk membuat keributan karena sejak kecil dia diajarkan untuk mengalah atas semua keinginan Hinava. Dengan berat hati, dia membawa barang-barangnya yang penting saja lalu turun ke lantai satu dengan berbagai barang di tangannya.

Kebetulan saat itu Jaskaran pulang dari sekolah. Kening Jaskaran langsung mengerut melihat barang di tangan Jasper berupa laptop, tumpukan pakaian dan beberapa mainan robot favorit kembarannya.

"Mau dibawa ke mana?" tanya Jaskaran sambil melangkah mendekat.

"Oh, kak Karan." Jasper mengubah ekspresinya dan menyapa seolah tidak terjadi apa-apa. "Hinava suka kamar gue jadi gue biarin dia tinggal di sana. Ada kamar tamu lain yang kosong, kan?"

Kerutan di kening Jaskaran semakin dalam. Dia menatap Jasper yang terlihat santai sementara waktu sebelum kerutan di keningnya menghilang sedikit demi sedikit.

"Ada. Biar gue bantu bersihin."

"Deal. Jangan kabur lo ya." Gurau Jasper sambil terbahak.

Jaskaran tersenyum samar, tanpa sadar melirik ke lantai dua. Kamar Jasper di sebelah kamar Jeevans... Mungkinkah itu tujuan Hinava tiba-tiba ingin tinggal di sana?

TBC

Februari 09, 2024.

500 komen.

Maaf ya updatenya tengah malem. Hehe.

REDAMANCYOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz