Vingt Quatre

41.8K 3.5K 55
                                    

Ashley's POV

Aku menghembuskan napasku malas, hari ini adalah hari dimana aku kembali harus bangun pagi dan pergi ke universitas. Uhh.. Padahal, waktu satu hari tidaklah cukup bagiku.

"Ada apa denganmu?" Sean tampanku itu mengelus pipiku lembut.

Aku menggeleng pelan, "Aku malas," jelasku sambil memeluk lengannya erat.

Dia tersenyum kecil, "Nanti, jika suatu saat kamu menjadi vampire ku, kamu baru boleh menetap dirumah," ujarnya.

"Baiklah, kalau begitu jadikan saja aku vampire." Aku menyingkirkan rambut panjangku yang tergerai.

Mobil Sean mengerem mendadak sampai suara decitan terdengar dikedua telingaku.

CIITTT!

aku menatapnya bingung, rahangnya mengeras seakan-akan dia marah, "Ada apa denganmu, Sean?" tanyaku pelan.

Dia menolehkan kepalanya kearahku, "Tidak, jangan pernah berbicara seperti itu." Aku mengernyit bingung dengan ucapannya.

"Memangnya ada yang salah dari ucapanku?" tanyaku.

Sean menggeleng pelan, kulihat manik matanya yang telah berubah warna menjadi merah. Untung saja kami masih berada didalam mobil, jadi tidak akan ada orang yang melihat manik matanya yang berubah warna. Sean mengelus pelan pipiku, "Ashley, aku tak ingin kamu menjadi sepertiku, hiduplah sebagai manusia," ujarnya sedikit berbisik.

"Tapi, aku ingin menjadi mahluk yang abadi sepertimu, agar kita bisa hidup bahagia selamanya dan mempunyai anak-anak yang lucu-"

"Berhentilah mengkhayal, ayo, kita pergi sekarang." Sean keluar terlebih dahulu dengan wajah dinginnya. Ada apa dengannya? Apa dia marah padaku?

"Sean!" panggilku, tapi dia malah mempercepat langkahnya tanpa menghiraukan panggilanku.

"HEIII!! AWASSS!!" Aku sedikit terjengit saat mendengar beberapa mahasiswa meneriaki namaku dengan kencang.

Dan saat itu aku sadar, jika sebagian gedung ambruk dan menimpaku, aku sedikit berteriak, sebelum sebuah tubuh tegap menindihku, membiarkan tubuhnya yang menjadi samurai untukku.

"Sean.."

Aku menatapnya yang terlihat meringis kesakitan, tak lama dari situ matanya terpejam dan tubuhnya ambruk diatasku. Aku menangis, air mataku menetes dengan derasnya. Sean, kamu tak apa? Bangunlah..

Para mahasiswa langsung membantu kami, diiringi dengan datangnya para saudara Sean, Benedict dan Jeremy segera mengangkut tubuh Sean kedalam mobil.

Aku terduduk melemas, "Hei, minumlah.." Aku menatap Albert yang menyodorkan aku sebotol minuman.

Aku menggeleng pelan, tangisku pecah saat itu, "Mengapa? Mengapa semua orang yang berada didekatku selalu mendapatkan bencana?" Aku menatap Albert dengan luka perban dikepalanya yang masih menempel.

"Ashley, percayalah.. Sean akan baik-baik saja," ujar Albert menenangkanku.

Aku menggeleng pelan. Awalnya, aku juga mengira seperti itu, karena aku berpikir saat luka tusuk saja menusuk ditubuhnya dia sama sekali tidak kesakitan. Tapi, saat melihatnya meringis kesakitan dan pingsan tadi, membuat pikiranku baikku padanya melenyap seketika.

Albert mengusap puncak kepalaku, "Kamu ingin menyusulnya?" tanyanya. Aku mengangguk pelan, Albert mengulurkan tangannya, "Ayo, jangan hanya menangis saja," ujar Albert. Aku sedikit tersenyum lalu menerima uluran tangannya.

Author's POV

Disisi lain. Seluruh keluarganya hanya menatap Sean kesal.

"Hei, aku sama sekali tidak salah!" ujar Sean sambil mengangkat kedua tangannya, "Aku hanya berpura-pura kesakitan agar tidak ada yang curiga," jelas Sean santai sambil menyesap minuman merah pekat itu.

Le Vampire Le Fort [TELAH DIBUKUKAN]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora