I. (Abrielle)

19.3K 572 14
                                    

"Hati-hati! Awas di belakangmu!" teriak Jake sangat nyaring hingga kepala Abrielle sakit sekali.

"Ya, ya aku tahu! Jangan berteriak terlalu kencang, kepalaku serasa dilalap Api Yunani! Pokoknya tetap pertahankan barisan!" perintahnya.

Abrielle mencabik monster yang ada di depannya. Sebagai anak Poseidon, seharusnya ini lebih mudah karena aku berada di air pikirnya. Dengan senjata yang serupa trisula Ayahnya, ia menusuk, menyabet dan mempertahankan wilayah kekuasaannya, di pinggir pantai pulau legiun perkemahannya berdiri.

"Jake, siapkan para pemanah! Mari hantam mereka dengan kekuatan Apollo!"

Dia terlalu tercengang saat monster tumbang satu per satu. Satu atau dua anak panah mencuat dari dada masing-masing monster yang tumbang, sehingga dia tidak menyadari bahwa tanah yang dipijaknya bergetar. Getaran tersebut menyebabkan air laut yang berada di sekitarnya beriak. 

"Abrielle! Ada yang datang!" teriak Jake, lalu dia melihatnya. Tubuhnya sepanjang kereta bawah tanah di London, kota kelahirannya. Dengan lebar tubuh sebesar seekor gajah dan sisik sekeras baja berwarna biru hijau laut yang sebenarnya cantik dan enak untuk dilihat jika kau tidak melihat mulutnya mengeluarkan racun berbusa dan badannya yang bisa menggilasmu dengan mudah.

"Mengapa ada drakon sialan itusih?!"

Para pemanah Apollo menembakkan panah mereka ke tubuh sang drakon. Panah-panah yang menghujani drakon tersebut tidak berefek apa-apa karena sebagian besar dari panah-panah tersebut memantul begitu saja, sedangkan panah-panah yang berhasil menancap di tubuh drakon tersebut tidak membuatnya kesakitan melainkan malah membuat drakon tersebut bertambah kesal dan semakin agresif membuat kekacauan. 

"Hentikan! Kalian hanya membuatnya tambah jengkel! Biar aku lawan drakon bau itu! Kalian selesaikan monster-monster anak Gaea lain yang tak tahu diri!" perintahnya. Sebagai pemimpin Legiun Tempur XII—legiun yang dia dirikan sendiri di Selatan Yunani, dengan pulau magis yang hanya bisa dilihat oleh dewa-dewi, demigod dan sekalibernya, walaupun seringkali lebih banyak mengundang monster juga—dia harus kelihatan berani untuk teman-temannya dan berhasil mempertahankan rumahnya.

"Hey drakon bau! Apakah Gaea baru memandikanmu dengan comberan?" teriaknya dengan lantang dengan harapan drakon tersebut akan merespon tantangannya dan meninggalkan teman-temannya yang lain. 

Drakon menatap lurus ke arah Abrielle dan mengerang, bahkan Abrielle merasakan trisula miliknya bergetar. Bau mulut drakon tersebut mengingatkannya pada truk sampah seafood yang pernah ia jumpai sewaktu berada dalam misi beberapa tahun yang lalu. Dia menggenggam trisulanya dengan mantap lalu berjalan dengan santai ke arah drakon dan tersenyum. Drakon super-bau-sampai-monster-lain-ikut-muntah itu bukan drakon pertama yang ia kalahkan. Sudah beratus-ratus bahkan beribu-ribu monster dia kalahkan sejak ia berusia sembilan tahun. Sebagai anak Poseidon, dewa laut bangkotan yang eksis selama beribu-ribu tahun yang lalu sampai saat ini, dia bagaikan magnet monster berkekuatan besar, apalagi di negeri kuno seperti ini.

Dia mengangkat trisulanya dan mulai menyerang. Ia berjarak sekitar 1,5 meter dari sang drakon. Bau ikan busuk masuk menjalari paru-parunya. Dia terlihat seperti kutu para dewa saat dia berada di hadapan sang drakon. Jika orang lain melihat adegan tersebut, seorang remaja perempuan berdiri menantang monster seukuran kereta bawah tanah, semua orang pasti akan menganggap dia bodoh, atau gila, atau bahkan keduanya. Namun Abrielle tahu apa yang dia lakukan.

Sudah biasa, pikirnya. 

Dia mengincar mata drakon yang sebesar bola bowling itu dan menyerang sambil menahan napasnya. Sedetik sebelum drakon tersebut berhasil melahapnya, dia berguling ke arah samping, menusukkan trisulanya lalu ia bertumpu dan menyalurkan seluruh energi dan bobot badannya yang menyediakan momentum baginya untuk berayun dan naik ke punggung sang drakon.

Battle Of The SeaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ