II. (Abrielle)

6K 387 18
                                    

Keesokan paginya, ia beserta dua konselor temannya sudah mengarungi kapal yang sudah dibuat oleh para anak kabin Hephaestus. Kapal itu tidak besar-besar amat, tapi aman bagi mereka bertiga.

Berlayar di laut merupakan kesenangan tersendiri bagi Abrielle. Dia bisa merasakan ombak bergulung di bawah kakinya, terpaan angin laut yang menyegarkan baginya, cipratan air asin yang ia rasakan seakan-akan memberikan dia ketenangan dan kebahagiaan tersendiri. Lea memegang kemudi sambil terus memasang raut wajah was-was akan serangan monster yang bisa datang kapan saja, sedangkan Audrey sedang memeriksa perbekalan mereka, senjata, makanan, api Yunani, obat-obatan secukupnya, dan tentu pakaian ekstra. Abrielle tidak tahu mengenai berapa banyak pakaian yang harus ia bawa, mengingat Poseidon tidak mengatakan apa-apa soal berapa lama dia harus berada di New York, belum lagi kalau mereka harus mencari satu orang di tengah jutaan orang di New York. 

"New York? Serius?" cetus Audrey.

"Yah aku tau itu keterlaluan, tapi berhubung kita berada di teritori Ayahku, sebaiknya jangan membicarakannya deh." kata Abrielle.

"Perjalanan ini bakalan berat, kita terekspos pada seluruh monster sekarang, mereka bisa saja menyerang kita kapan saja. Mungkin sebaiknya kita culik salah satu anak Hermes yang humoris, sebagai ehm kalian tahu pengangkat semangat?" Audrey duduk di ujung kapal di sebelah Abrielle.

"Aku tidak mau membahayakan nyawa yang lain." timpal Abrielle, lalu menyadari betapa buruk perkataannya terdengar bagi Lea dan Audrey.

"Lalu kenapa kau masih membawa kami?" dengus Lea dengan kesal. 

"Ya! Menurutku ini seperti mengemban misi bunuh diri. Ke New York? Benua Amerika. Di sebuah kapal yang baru dibuat sehari... Jujur, aku tidak suka peluang kita bertahan hidup di tengah laut dengan peralatan dan perbekalan seadanya seperti ini." tambah Audrey.

"Audrey, kau adalah pembuat strategi perang terbaik yang kita punya di Legiun dan Lea, kau pejuang yang sangat tangguh."

"Abrielle, kau tau, pejuang tertangguh di Legiun adalah kau. Kalau Lea sih selalu yang kedua." lirik Audrey ke arah Lea.

"Tutup mulutmu, Athena!" bentak Lea. Audrey sontak berdiri dan meraih pedangnya. 

"Jadi kau mau Ibumu yang sok pintar itu menangis karena salah satu anaknya mati di tangan anak dewa perang?" geram Lea yang melupakan tugasnya untuk mengemudikan kapal dan mengambil tombaknya yang ia tancapkan disebelahnya dan mulai berjalan ke arah Audrey. 

"Cukup! Belum genap dua jam perjalanan, kalian sudah bertengkar layaknya kucing dan anjing! Jika kalian ingin selamat, berantemnya nanti saja!" teriak Abrielle.

Mereka berdua mendengus kesal dan kembali ke posisi awal mereka, dengan Lea dibalik kemudi dan Audrey duduk di ujung kapal sambil memperhatikan cakrawala. Mereka was-was kalau ada serangan dari udara, ditambah dengan kapal mereka yang terbuka. Mereka tidak terlalu khawatir dengan serangan dari laut karena mereka punya sonar canggih milik anak-anak Hephaestus serta keturunan Poseidon yang akan menumbangkan monster dalam hitungan menit.

Tetapi kira-kira sudah lewat dua hari mereka bergantian berjaga, memegang kemudi, beristirahat, namun mereka tidak melihat satupun ujung kaki monster yang pada umumnya dipenuhi panu dan kapalan. Lea dan Audrey sepertinya oke-oke saja akan hal itu. Tetapi Abrielle tidak. Dia merasa ada yang aneh.

"Kalian tidak merasa aneh ya?" tanya Abrielle.

"Tidak. " jawab Lea dan Audrey serempak.

"Memangnya kenapa?" tanya Audrey dibalik kemudi. 

"Tidak ada monster satu pun."

"Eh memangnya kau tidak merasakannya, ya?" timpal Lea yang sedang duduk di dek sambil menajamkan ujung tombaknya dengan dua bilah pisau yang selalu ia simpan dibalik kakinya.

"Tidak, memangnya ada apa sih?"

"Wah! Sepertnya perasaanmu sudah tumpul ya? Kita akan membutuhkan kepala Legiun baru. Aku akan mencalonkan diri . Tidakkah kau sadari cahaya hijau berpedar di sekitar kapal ini? Itu berkat dari Ayahmu, Ab." ujar Lea sambil menunjuk ke sekeliling kapal dengan pisaunya. 

"Yah, akukan tidak tahu!"

"Tunggu!"

"Apa?"

"Kau lihat itu?" tanya Abrielle sambil menunjuk sesuatu di depan mereka.

"Ya, aku lihat!" geram Lea sambil berdiri memegang tombaknya dengan siap. Bagus, pikir Abrielle dengan kesal. Tidak sampai 1 menit dia mengatakan tidak ada monster kemudian voila! Ini monster buatmu. 

Bayangan hitam besar sedang terbang menuju ke arah mereka. Makhluk itu mendarat di galadak kapal.

"Halo Audrey Gallagher, Lea Gibson dan wah... suatu kejutan! Keturunan Poseidon! Dewa yang mengirimku ke Tartarus dua kali." ucap monster itu sambil tersenyum dingin. Monster ini memiliki tinggi kurang lebih empat meter, dengan kulit yang dipenuhi dengan kutil-kutil hijau lumut dan wajah yang yah tidak enak dilihat, dilengkapi dengan sepasang sayap berwarna cokelat yang sepertinya terlalu kekecilan berada di punggung makhluk ini, Abrielle bertanya-tanya bagaimana caranya dia bisa terbang dengan sayap sekecil itu. 

"Eh, hai!" Abrielle berusaha bersikap sesantai mungkin dan berusaha untuk tidak muntah karena aroma yang dikeluarkan monster ini yah bisa dibilang bukan aroma yang sedap.

"Apakah aku mengenalmu? Seingatku, aku tidak mengundang raksasa bau kaki yang jeleknya amit-amit untuk datang ke kapalku. Jadi, bisakah kau tinggalkan kami? Baumu seperti toilet umum." gidik Abrielle sambil menggelengkan kepala.

"Bah! Tutup mulut mu! Aku ini Borroeachus! Anak Gaea yang perkasa!"

"Ya, ya, terserah kau. Omong-omong, kau tak punya parfum ya?" tanya Abrielle dengan polos sambil menutup hidungnya.

"Kau boleh mengolok-olok ku tapi—"

"Eh serius nih?" potong Abrielle.

"Diam dulu!" bentak Borroeachus yang semakin kesal, dengan wajahnya yang mulai berwarna keunguan menahan amarah, namun Borroeachus sepertinya berhasil untuk meredakan amarahnya, yang kemudian tersenyum. "Mari kita lihat siapa yang mengolok-olok disaat terakhir!"

"Mana kutahu! Aku bukan Oracle." ujar Abrielle sambil merogoh ke kantung celananya dan menggenggam pulpen kesayangannya. 

"Kita lihat saja nanti!"

Abrielle mengeluarkan pulpen sewarna tembaga. Memang cemen sih, tapi setelah Abrielle membuka tutup pulpen tersebut, pulpen tersebut berubah menjadi trisula yang bahkan membuat para monster bergidik takut. Bahkan Borroeachus pun mundur dua langkah, yang diikuti secara serempak oleh kedua temannya. Trisula itu persis seperti punya Ayahnya, tetapi trisula Ayahnya multifungsi, yang sama-sama terbuat dari perunggu langit, namun milik Abrielle hanya bisa menyetrum.

"Huh... Trisula..." Borroeachus menggeram. "Aku benci kau!" dan mulai menyerang.

Abrielle tersenyum sambil memutar trisula tersebut ditangannya.

"Aku mencintai kau juga! Mari kita mulai wahai monster penghuni toilet umum!"

Battle Of The SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang