XX. Abrielle

2.4K 173 2
                                    

Setelah berpisah dengan Percy, Abrielle merasa kesepian walaupun Leo tidak berhenti mengoceh tentang mesin – mesin kapal disebelahnya. Abrielle penasaran, apa Percy merasakan hal yang sama tentangnya. Tidak mungkin. Percy adalah jenis orang yang akan selalu disukai oleh orang banyak. Parasnya yang seperti pahlawan dan pemimpin sungguhan. Tidak mungkin dia akan merasa kesepian.

Sebelum bertemu Percy, Abrielle selalu penasaran apakah ada keturunan Poseidon yang lain diluar sana. Bertanya – tanya apakah mereka mirip atau tidak. Sekarang setelah bertemu Percy, susah untuk melepasnya lagi. Apalagi dengan ramalan itu. Menyeramkan.

“Abrielle?” panggil Annabeth membuyarkan lamunan Abrielle.

“Ya?” jawab Abrielle.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Annabeth.

“Tidak ada.”

“Jangan bohong. Aku menghabiskan waktu bertahun – tahun di Perkemahan Blasteran untuk membaca tingkah laku seseorang, jadi kau tak bisa bohong padaku. Bahkan kakakmu tidak pernah lagi mencoba berbohong padaku karena aku pasti tahu.”

“Yah kalau Percy sih, memang pembohong yang buruk.”

Mereka tertawa bersama.

“Rupanya kemampuan berbohong Percy menurun padamu. Aku serius nih, apa yang sedang kau pikirkan?”

“Aku mengkhawatirkan Percy dan yang lainnya juga Ayahku. Entahlah, rasanya tidak benar.”

“Tak apa. Mereka akan pulang, kita juga. Dan Ayahmu? Dia sih pasti bisa bertahan.”

“Itu dia kapalnya!” teriak Leo.

Mereka menoleh ke arah yang ditunjuk Leo. Disitu terpampanglah kapal pesiar yang lumayan besar. Dengan warna putih mengkilat seperti mutiara yang dipoles dengan tulisan megah “POSEIDON”.

“Serius nih ini kapalnya? Kita kan bukan mau liburan?” tanya Abrielle.

“Yah kita sudah berjalan sejauh 3 mil dan yang ada tulisan POSEIDON nya hanya ini.” jawab Leo.

“Yasudah ayo naik!” ajak Annabeth.

Mereka menaiki kapal dan Leo mulai mengotak – ngatik papan mesin.

“Kalian tidur saja duluan, biar aku yang mengemudi!” cengir Leo.

Annabeth pergi ke bawah untuk istirahat.

“Kau serius Leo?” tanya Abrielle.

“Ya. Tidak apa – apa. Lagipula ini mesin kan?” jawab Leo.

“Yasudah. Aku istirahat dulu ya.” ucap Abrielle sambil berjalan pergi.

Abrielle menuruni tangga dan menemukan 3 bilik kamar. Annabeth sudah menempati bilik pertama. Jadi Abrielle menempati bilik kedua. Setelah meletakkan barang – barang yang Ia bawa, Abrielle bergegas ke tempat tidur lipat dan berbaring disana. Sudah 2 hari Ia tidak tidur. Matanya sudah berat sekali. Akhirnya dia memejamkan mata dan terlelap seketika.

“Putri Poseidon!” raung seseorang.

“Oceanus! Apa itu kau?” tanya Abrielle.

“Ya. Akhirnya kau mengerti jalannya permainan ini demigod muda. Aku mau kau bertemu dengan seseorang. Edessa kemarilah!”

Seorang wanita datang dengan balutan sutera putih ala Yunani kuno, memakai perhiasan dari emas, dan rambutnya yang cokelat seperti milik Abrielle digelung dengan untaian rumput laut yang berkilau. Wanita itu cantik sekali. Mirip dengan Abrielle. Kecuali matanya. Matanya persis sama dengan Oceanus. Rasanya Abrielle ingin menangis.

“Ibu?” bisik Abrielle.

“Aku akan memberikan waktu pada kalian berdua untuk mengobrol. Silahkan cucu ku.” ucap Oceanus sambil lalu.

Dada Abrielle serasa sesak sekali.

“Apa yang Ibu-“

“Hai putriku.”

“Bukannya Ibu-“ isak Abrielle.

“Tuan Kegelapan yang membangkitkan ku.”

“Tuan Kegelapan? Maksud Ibu, Tartarus?”

“Ya nak. Kau baik – baik saja? Kau sudah besar.”

Abrielle tidak kuat menahan tangis. Dia menitikkan air mata setetes demi setetes. Dia berlari memeluk Ibunya tetapi tembus.

“Apa yang-“

“Ingatkah kau bahwa kau berada di bawah alam sadar mu nak? Kau tidak benar – benar berada disini.” ucap Ibunya lembut.

“Ibu dimana? Aku akan membawa Ibu pulang.”

“Pulang? Pulang kemana nak?”

“Ke Istana Ayah! Ayah masih mencintai Ibu! Ibu percaya kan denganku?”

Ibunya tersenyum, “Tempatku disini Abrielle. Aku tidak bisa dan tidak akan pergi kemana – kemana.”

“Jadi Ibu berperang dipihak Oceanus?”

“Tidak. Ibu tidak memihak siapa – siapa. Tetapi Oceanus tetaplah Ayah ku nak. Banyak anak – anak Titan yang tidak memihak siapa – siapa tetapi tetap berada di sisi orangtua masing – masing. Kau tahu Calypso?”

“Pernah dengar. Tapi aku ingin bersama Ibu. Aku tidak pernah tahu bagaimana rupa Ibu sebelum aku bertemu denganmu sekarang.”

“Aku tahu. Aku minta maaf, aku tidak bisa ada di sisimu saat kau tumbuh besar. Tapi kau membuatku bangga akan semua hal yang sudah kau lakukan. Tuanku Hades memberiku tempat khusus di Padang Asphodel.”

“Tapi aku-“

“Waktumu sudah habis Edessa!”

“Tapi Ayah-“

“Aku bilang cukup! Aku sudah berbaik hati membiarkan mu berbincang – bincang dengan putrimu.”

“Baik Ayah. Abrielle, sampai ketemu lagi. Ibu menyayangimu.” ujar Ibunya sambil berjalan masuk.

“Oceanus aku mohon aku hanya ingin berbica-“

“Kau punya banyak waktu untuk berbicara dengannya jika kau bergabung denganku sambil menyaksikan kematian Ayahmu. Terserah kau. Aku tidak memaksa. Sesuai dengan ramalan, kau harus menentukan sebuah pilihan. Kau tidak harus memilih sekarang Putri Poseidon. Bangunlah.”

“ABRIELLE! BANGUN! KAU TAK APA?”

Seperti suara Annabeth.

“SIRAM SAJA PAKE OLI!”

Pasti Leo.

“Ya ya aku sudah bangun.”

Abrielle tidak menyadari bahwa tubuhnya sudah basah kuyup oleh keringat.

“Memangnya tadi aku teriak – teriak?” tanya Abrielle.

“Tidak sih, tapi kau terus memanggil – manggil ehm Ibu.” jawab Leo.

Dada Abrielle serasa sakit mengingat hal itu.

“Lupakan saja. Jam berapa sekarang?” tanya Abrielle.

“Tidak tahu, tapi kira – kira kau sudah tidur selama 6 jam.” jelas Leo.

“Tidak mungkin.”

“Ya kami tidak ingin membangunkanmu kare-“

Bip bip bip

“Bunyi apa itu?”

“Oh tidak. Sebaiknya kita ke atas karena ada yang datang dalam radius 500 meter.”

Mereka berlari ke atas geladak.

“Tidak ada apa – apa. Apa ya tadi itu?” tanya Annabeth.

“Ada yang datang.” jawab Abrielle.

“Tapi kita tidak melihatnya.” tukas Leo.

“Bukan dari langit Leo, tapi dari-”

Saat itulah air dibelakang perahu mereka meledak dan menyiram kapal dengan bergalon – galon air asin.

Battle Of The SeaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz