Part 19🌻

19.4K 1.8K 38
                                    

Nikmati waktu berhargamu dengan orang-orang terkasih -Gusmu Imamku.

===

"Yang udah abis apa aja, Nda?" tanya Gus Fatah ketika ia dan istrinya sudah sampai di swalayan 24 jam, dan saat ini dirinya tengah mengambil troli untuk diberikan pada Liana, karena wanita itu sempat meminta izin untuk menyibukkan diri saat berblanja.

Liana merogoh saku bajunya yang di sana terdapat secarik kertas panjang bekas nota belanja bulan lalu yang masih ia simpan hingga kini karena ketika telah berhadapan dengan rak berisi banyak jenis makanan, sayuran, dan barang pikirannya terlalu malas untuk mengingat-ingat lagi kebutuhan dapur dan pribadinya yang sudah habis. Lebih baik tanpa banyak pikir, ia mengambil semuanya saja sama seperti yang telah tertulis di nota.

"Nih, Bee," jawab Liana seraya menyodorkan nota yang dia ambil tadi.

Gus Fatah menerimanya, lalu dilihat secara seksama apa saja yang tertulis di sana. Rahangnya serasa ingin jatuh ke tanah setelah melihat banyaknya barang yang istrinya akan beli. " Ini beneran, Nda?" tanyanya shock.

Bukan masalah harga keseluruhan sebenarnya yang membuatnya terkejut, tapi cara dia nantinya membawa pulang ke rumah. Barangnya terlalu banyak dan juga besar-besar ukurannya, sepedanya takkan mampu membawanya dengan sekali jalan saja.

Liana mengangguk.

"Kita nanti bawa pulangnya gimana coba? Aku nggak bawa HP loh buat hubungi kakang pondok," timpal Gus Fatah yang malah membingungkan hal sesederhana itu di mata Liana.

"Ada Gusti Allah, santai aja." Liana mengedipkan sebelah matanya.

Gus Fatah terkekeh kaku. "Iya sih. Eum, yaudah buru belanja, aku bantu juga aja ya? Takutnya Dinda kecapean," ucapnya menawarkan bantuan.

Liana menggeleng cepat. "Nggak mau, ini tugas Ummi," tolak Liana sambil menepuk-nepuk pelan dadanya dengan wajah songong. Ia pun lalu meraih troli yang masih di bawah genggaman Gus Fatah untuk diajak keliling setelah merampungkan percakapannya dengan pria di depannya itu.

"Ummi nih yee," goda Gus Fatah sambil mencubit gemas pipi Liana.

Liana melepaskan tangan Gus Fatah dari pipinya dengan wajah manyun. "Jangan pegang-pegang! Bukan mahram," ucapnya melarang, setelah tangan Gus Fatah terlepas dari pipinya, ia pun lantas menyapu bersih tepat di mana wajahnya terasa panas dan terlihat agak memerah.

Gus Fatah merangkul pundak istrinya untuk dirapatkan ke tubuhnya. "Ye emaaang, Dinda kan istriku. Kalo kita mahram, gak mungkin dong bisa berduaan dan semesra ini," balas Gus Fatah yang nyatanya sangat jarang seorang saudara kandung ataupun keluarga sedarah berprilaku mesra satu sama lain.

"Ih Albee jauh-jauh sana! Ngopi-ngopi atau beli jajan sendiri gitu, bebas deh." ujar Liana seraya melepaskan diri dari rangkulan suaminya. "Udah ah, mau belanja dulu. Keburu siang." Sambungnya lalu mulai mendorong trolinya secara perlahan sambil melihat-lihat rak sekitar.

Gus Fatah memanyunkan bibirnya, tapi walau begitu beliau tetap pergi ke teras depan untuk menunggu istrinya di sana. Ia menghela napas bosan karena di sana tidak ada yang menarik, ada, tapi yang menarik malah memintanya pergi.

"Pagi-pagi udah di sini aja kamu, Mas," Seorang pria tiba-tiba datang kepada Gus Fatah dan mengucapkan kalimat itu.

Gus Fatah menoleh ke sumber suara dan menemukan adiknya di sana. "Eh Amru? Eumm, ini lagi nemani Mbak Liana belanja,"

"Loh, ada mbak Liana juga?" Gus Amru celingukan dari balik kaca teras mencoba mencari keberadaan mbak iparnya. Tidak ditemukan. Mbak  iparnya ditutupi rak besar.

Gusmu Imamku √Where stories live. Discover now