Part 42🌻

15.8K 1.1K 59
                                    

Menyakinkan dia untuk menjadi temanku ternyata bukan perkara yang mudah.

-Umi Khalifah

===

Tok, tok, tok ....

"Assalamualaikum! Assalamualaikum Ammah!"

Tok, tok, tok ....

Butuh waktu beberapa saat bagi Ning Liana untuk menunggu di teras depan sampai pintu ndalem Gus Amru akhirnya dibukakan oleh Holif yang tengah menggendong Gus Faqih.

"Wangalaikumussalam, Ningku," jawab Holif tanpa lupa menyeringai senang atas kedatangan Ning Liana yang telah kembali setelah selesai berbelanja.

"Aqih tidur apa, Mmah?" tanya Ning Liana saat melihat putranya yang tanpa Holif sadari telah memejamkan.

"Ih, kayakanya iya loh, Ning," jawab Holif sedikit kaget karena bayi Ningnya itu terlalu cepat hanya untuk pergi tidur.

Ning Liana memaklumi apa yang terjadi pada anaknya yang juga pasti terjadi pada kebanyakan bayi lainnya. Ia pun lalu meletakan plastik hitam berukuran sedang ke lantai ndalem Gus Amru ini sebelum mengambil putranya dari dekapan Ammahnya.

Setelah Gus Faqih kembali kepadanya, Ning Liana meminta tolong pada Holif untuk mengambil plastik hitam tadi.

Dengan senang hati Holif mengangguk mengiyakan karena apapun yang terjadi, terdapat, dan terucap pada Ning Liana, ia mencintainya. Dan bisa dikatakan juga, Holif termasuk salah satu dari santriwati pondok ini dan pondok Al-malik yang diam-diam menjadi penggemar istri almarhum Gus Fatah itu. Terlebih, ia merasa paling beruntung diantara para penggemar Ning Liana lainnya, sebab dengan mudahnya ia bisa berdekatan dan berkomunikasi dengan wanita itu.

Entahlah, menurutnya segala sesuatu tentang Ningnya itu begitu memukau di matanya. Dari nasab, nasib, fisik, ilmu, akhlak, dan keturunan bagus yang jarang sekali dapat ia temukan manusia di zaman akhir ini memiliki takdir seberuntung dan seluar biasa itu.

Sekali terbersit perasaan iri tentu pernah menghinggapi benak Holif, tapi balik lagi akan kenyataan jika semua orang memiliki takdir masing-masing dan mungkin takdirnya hanya bisa menganggumi dan selalu berusaha menyaingi agar mampu menyamai Ningnya, walau ia sendiri juga tahu sampai kapanpun menjadi ataupun sekedar mendekati takdir layaknya takdir Ning Liana takkan lah pernah terjadi pada hidupnya.

"Ini, Ning," Holif mengulurkan plastik hitam tadi kepemiliknya tanpa melunturkan sedikit pun senyumnya.

Setelah plastik tadi berada pada tangan Ning Liana, wanita itu malah kembali mengulurkannya pada Holif. "Belum sarapan, kan? Ini aku ada bakso buat sampean sama Gus Amru," ucapnya sebagai bentuk ucapan terima kasih telah mau menjaga putranya.

"La kok repot-repot sih, Ning? Tapi ya makasih sih, heheh," ucap Holif sembari menerima pemberian Ning Liana.

"Lah ya nggak repot kok ini. Ya udah kalo gitu aku pulang dulu," pamit Ning Liana tapi langsung Holif timpali dengan pertanyaan.

"Ning Liana nanti sibuk enggak?"

"Ya kalo di luar jam ngaji, palingan cuma sibuk nemenin Aqih. Ada apa emangnya?" jawab dan tanya Ning Liana secara bersamaan.

"Nggak papa, heheh. Tapi nanti mungkin Holif mau main ke ndalem Ningnya." jawab Holif yang sebenarnya sangat-sangat sering pergi ke ndalem wanita itu.

"Oh ya silahkan." ucap Ning Liana mempersilahkan, lalu tak lama setelah itu, ia kembali pamitan untuk pulang ke rumahnya sendiri.

Sebelum motor Ning Liana yang perlahan menjauh dan mulai terlihat samar-samar di netranya, Holif tetap akan berdiri di depan pintu dengan tangan meneteng plastik tadi. "Ya Allah, udah cantik, baik, pinter hiks hiks. Pas banget kalo sama Gus Amru." lirihnya dengan isakan palsu sambil mengusap bawah mata dengan jari telunjuknya.

Gusmu Imamku √Where stories live. Discover now