Part 23🌻

16K 1.4K 23
                                    

Aku diam karena kita berbeda, kau di sini mulia dan berstatus tinggi, sementara aku hanya, ah entahlah. Hanya saja tidak akan ada status lagi antara kau dan aku ketika kita telah berada di luar lingkup kekuasanmu. -Fatma

===

Siang menjelang sore di asrama putri, Liana duduk membelakangi 10 santriwati masukan tahun ajaran baru ini yang belum bisa baca tulis pegon dan masih kesusahan menulis bahasa Arab. Dengan telatennya ia menuliskan soal jawab Mabadi Fiqih Juz 1 dari bahasa arab lalu diberi makna pegon yang ditulis miring sama persis dengan apa yang ada di dalam kitab yang tengah ia pegang.

"Eh, Ni. Itu bacanya apa?" Seorang santriwati bernama Dwi berbisik pada Ani karena dirinya masih belum bisa membaca pegon seperti yang tengah Ningnya tulis.

"Nggak tau, coba tanya ning Liana langsung," ujar Ani— santri baru dari Jakarta.

"Kalian berdua apaan sih kok malah bisik-bisik? Orang lagi ngaji juga." sahut Mara yang duduk di samping Dwi.

"Itu bacanya apa, Mar?" tanya Dwi pada teman sebayanya yang berasal dari provinsi yang sama dengan Ning Liana, sambil menunjuk tulisan Arab pada baris pertama di papan tulis.

"Itu?" tanya Mara memastikan apakah ia benar menunjuk seperti yang tengah Dwi tunjuk.

Dwi mengangguk, dan langsung saja Mara membuka lembar pelajaran kemarin, karena apa yang Dwi tanyakan sama persis yang ia tulis hari lalu. 

"Oh itu bacanya, ما: iku opo. Aku bisanya cuma itu doang sih, soalnya tulisan sampingnya beda lagi sama pembahasannya yang kemarin, heheh" Mara nyengir kaku.

"Maa (ما) Iku opo، Indonesianya apa kan ya?" tanya Dwi, santri asal Kalimantan Barat.

Mara mengangguk. Bisa dikatakan ia mampu mengucapkan dan sedikit memahami 2 bahasa, Indonesia dan Jawa kasar, karena ia tinggal di lingkungan orang yang bicaranya memakai bahasa Jawa. Ya, kebanyakan warga Lampung saat berdialog dengan yang lain, sehari-hari memakai bahasa Jawa. Bahkan jarang orang yang tinggal di sana bisa berbicara dengan bahasa Lampungnya sendiri.

"Sttt ... ." Diana yang duduk paling ujung memberi isyarat agar mereka menghentikan sesi dialog saat sedang mengaji.

"Diam-diam." lirih Ani penuh penekanan pada 2 teman barunya.

"Nulisnya udah, Mbak?" tanya Liana yang telah menyelesaikan tulisannya lalu duduk anteng di tempat biasanya yang digunakan ustadzah lainnya duduk.

"Belum, Ning." jawab beberapa mbak-mbak saja, karena tak semua yang di sana sudah bisa berbicara dengan bahasa Jawa halus.

"Kalo udah selesai semua, kita baca bersama-sama ya?"titah Liana sambil tersenyum simpul pada seorang santri yang benar-benar menyimak dirinya.

"Enggeh, Ning." balas semua mbak santri baru, lalu mereka segera menulis laju tulisan yang sama seperti yang Ning-nya tulis.

Untuk sementara ini, mereka semua masih menggunakan buku tulis biasa, karena hampir diantara mereka ketika  memaknai Arab tulisan belum bisa diperkecil, maksudnya makna miring yang mereka tulisan masih sangat panjang sampai menyentuh garis bawah buku.

"Di kelas ini ada pelajaran khot, kan ya?" tanya Liana di sela-sela mereka menulis.

"Iya ada, Ning. Mbak Fatma gurunya," jawab Aish orang asli Jawa Timur yang karena jawabannya itu menyangkut nama Fatma, tanpa Liana inginkan, mendadak sekelebatan ingatan saat dirinya baru pertama kali ke asrama putri ini tiba-tiba hadir.

"Di mana orangnya sekarang?" tanya Liana karena sejak hari itu, baru sekali ia melihat Fatma lagi, itu pun di mushala saat ia berangkat jamaah Maghrib paling akhir dan menyadari ada Fatma yang duduk dishaf tak jauh darinya.

Aish menggeleng sambil terkekeh ringan. "Sekarang orangnya ada di asrama B, Ning. Malu katanya kalo ketemu Ning Liana," jawabnya yang memang kebetulan tahu kepindahan Fatma sebab ia pernah sekamar dengan wanita itu.

Liana mengangguk paham. "Nanti kalo udah selesai ngajinya suruh dia temui saya ya?"

"Enggeh, Ning."

Liana menarik napas panjang sebelum fokus lagi ke pelajarannya. "Udah selesai semua kan?" tanyanya.

"Saya belum, Ning. Kurang satu pertanyaan lagi." jawab Dwi sambil terus mendongak ke papan tulis setelah satu huruf Hijaiyah telah selesai tergores di bukunya.

"Ya udah, ditunggu bentar lagi aja." balas Liana yang setelah itu membuat Dwi melajukan cara tulisnya.

~~~

Pulang ngaji, Liana diikuti 2 santriwati suaminya. Ada Holif yang agak dekat dengannya walau perempuan itu masih berjalan di belakangnya, juga ada Fatma yang posisinya agak jauhan darinya. Disaat inilah, Holif terus menerus bertanya tentang Nahwu yang sebenarnya Liana tahu betul jika yang memberi pertanyaan itu sudah tahu jawabannya.

"Ning, و menjadi alamat i'rob rofa' kan bertempat pada 2 tempat, nah tempat e niku teng pundi mawon?" tanya Holif dengan wajah seriusnya.

Liana menggeleng. "Sampean ngetest, mbak?" tanyanya balik yang langsung Holif sangkal.

"Enggak Ning, nggak," jawab Holif sambil memajukan bibirnya yang membuat wajahnya benar-benar membentuk babyface.

"Ya udah tanya aja sama mbak Fatma!" Saat Liana ingin agar Holif melemparkan pertanyaannya tadi pada Fatma, perempuan berinisial awalan F itu langsung berdehem.

"Nggak ah, Ning. Kapan-kapan aja, sekarang Holip mau pulang dulu ke asrama, bentar lagi mau shalat asar, heheh. Assalamualaikum." pamit Holif sambil menyalami tangan Ningnya sebelum ia pergi ke asrama

"Wa'alaikumussalam." Liana pun lalu terdiam diri di tempat sambil memutar tubuhnya menghadap ke Fatma. "Gimana kabarnya, Mbak?" tanyanya sambil tersenyum simpul.

"Alhamdulillah, sehat." jawab Fatma pelan.

"Alhamdulillah." lirih Liana lalu mendadak ia sedikit menolehkan kepalanya ke belakang karena mendengar suara benda jatuh dari arah dapurnya. Mungkin kucing, pikirnya. "Kamu lagi udzur?" Lanjutnya bertanya.


Fatma menggeleng. "Enggak."

"Ya udah cepat siap-siap jamaah!" Suruh Liana.

"Enggeh." Fatma pun mulai berjalan perlahan ke arah ningnya untuk bersalaman. Tangannya panas dingin ketika telah bersentuhan dengan wanita cantik di depannya itu. Ia tersenyum tipis.

"Maaf, Ning. Assalamualaikum." Pamitnya lalu buru-buru pergi setelah Liana menjawab salam. Fatma pun buru-buru kembali ke asrama putri.

~~~

Saat sudah berada di ndalem, Liana tak mendapati suaminya ada di bawah atap yang sama dengannya, karena kemungkinan besar Gus Fatah telah pergi ke masjid untuk menunaikan shalat asar. Liana pun yang akan melakukan hal sama langsung menyambar mukenanya begitu saja setelah wudhu untuk menunaikan ibadah asarnya di mushala asrama putri.

===











MOHON MAAF UNTUK BAGIAN-BAGIAN MANISNYA YANG MULAI BERKURANG, KARENA, MASA MANIS TERUS SIH, DAN NGGAK ADA AKTIVITASNYA SAMA SEKALI DI ASRAMA 😭

KAN INI JUGA MASIH BERHUBUNGAN DENGAN PONDOK PESANTREN, BIAR YANG BELUM MONDOK TAHU DAN NGGAK BEREKSPETASI LEBIH TENTANG CINTA DI PONPES YANG SEINDAH DI  NOVEL, HWHWHWH

KHOT: TULISAN INDAH KALIGRAFI.

15 APRIL 2020

Gusmu Imamku √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang