Part 22🌻

16.9K 1.5K 51
                                    

Sebelum akhirnya kita nanti berbeda tempat, aku ingin menggunakan kesempatan yang masih Tuhan berikan ini untuk selalu dekat denganmu. –Albar Fatahillah

===

"Nda banguun! Shalaat!" Gus Fatah menggoyang-goyangkan kaki istrinya yang tertutupi selimut setelah ia menyelesaikan mandi junubnya dalam bilik kecil.

"Euemm," Liana hanya berdehem sambil menggeliat kecil.

"Shalat, Sayaaang!" seru Gus Fatah lagi, karena Liana tak kunjung bangun.

"Shalat?" gumam Liana dengan wajah ngantuknya. "Shalat apa? Emangnya udah subuh? Hah, subuh!?" Dengan penglihatan yang masih samar-samar karena nyawanya masih terkumpul separo, Liana bangkit dari tidurnya dengan badan yang oleng ke kanan ke kiri untuk melihat jam yang terpasang di dinding. "Ya Allah!" ucapnya histeris lalu segera lari ke kamar mandi hanya dengan memakai sarung yang dililitkan di atas dada.

Efek mata yang masih belum bisa melihat dengan jelas, juga otak yang belum bisa diajak berpikir cepat, saat melihat jam wanita itu malah mengira sudah jam lima, padahal jarum pendeknya saja masih menetap di angka tiga, yang artinya saat ini di wilayahnya masih masuk jam tiga. Liana berucap secara histeris tadi, karena ia merasa telat menyiapkan sahur suaminya yang tadi siang mengatakan ingin berpuasa.

Gus Fatah tertawa sambil menutup mulutnya. "Histeris banget sih, Nda. Biasa aja kali." ujarnya pelan yang tentunya membuat Liana tak dapat mendengar suaranya.

Gus Fatah pun lalu berjalan menuju ujung kamar untuk menyiapkan dua sajadah yang akan ia gunakan sebagai alas shalat tahajudnya bersama istrinya nanti. Tak membutuhkan waktu lama untuk Liana mandi, wanita itu akhirnya muncul kembali dengan pakaian yang sudah rapih membungkus tubuh mungilnya.

"Albee belum sahur ya? Maafin aku ya telat bangunnya. Tapi kalo Albee mau sama tempe aja, ayo aku buatin dulu," ucap Liana dengan wajah khawatirnya.

"Shalat dulu yuk ah, entaran aja makannya," balas Gus Fatah yang membuat Liana bingung.

"Kalo Albee ngajakin shalat sekarang, berarti sekarang dah subuh do—" Liana tak jadi merampungkan ucapannya karena ia kemudian melihat ke arah jam dinding.

"Jam tigaaa?" Cengonya dengan wajah shock, sebab ia kira tadi Gus Fatah membangunkannya sebab mau diajak shalat subuh bersama. "Iiish, masih jam tiga ternyataa," sambungnya dengan wajah bete yang kemudian ia tunjukkan pada Gus Fatah yang malah nyengir tanpa dosa di atas sajadah yang pria itu injak. "Gak lucu ya, Bee,"

"Lagi gak ngelawak kok. Emangnya aku ngapain?"

"Albee kenapa nggak bilang kalo mau shalat tajahud siiih? Albee tuh harusnya tau, sangat gak enak kalo lagi dalam kondisi belum sadar sepenuhnya harus memaksa tangan menyiramkan air ke atas kepalaaa!" Liana berjalan cepat ke arah suaminya untuk mencubit lengan pria itu yang terlapisi kain.

"S-sakit, s-sakit, Nda. S-sakit banget, huaaa!" Raung Gus Fatah saat Liana benar-benar mencubitnya.

Liana yang merasa kasihan karena Gus Fatah terlihat natural sakitnya, melepaskan cubitannya dengan wajah babyface-nya. Sesaat setelah itu, Gus Fatah langsung mengusap-usap lengannya.

Liana menghentakan kakinya sambil mendengus kesal. "Albee nyebelin,"

"Nyebelin terus ih, ngangeninnya kapan?" Sembari bertanya, Gus Fatah mengambil mukena Liana yang tergantung tak jauh dari tempatnya berdiri untuk dipasangkan ke pemiliknya.

"Kapan-kapan," ketus Liana sambil memanyunkan bibirnya karena ia benar-benar kesal.

"Aih, kalo nggak lagi mau shalat udah kucium tuh bibir monyong Dinda," ujar Gus Fatah sambil berjalan menuju Liana. "Nih pasang sendiri," sambungnya sambil memberikan ciput untuk Liana kenakan agar anak rambut wanita itu tidak kelihatan saat shalat.

Gusmu Imamku √Where stories live. Discover now