Part 27🌻

14.6K 1.4K 28
                                    

Cinta adalah anugrah dari sang pemilik Cinta dengan segala keindahannya.

—Gusmu Imamku

===

Setelah Holif selesai berbincang-bincang ringan dengan istri gusnya, ia pamit pulang. Tapi, sebelum itu ia disuruh ningnya untuk terlebih dahulu memanggil Gus Fatah. Holif yang tak tahu di mana keberadaan Gusnya itu berjalan ke sana kemari sampai ia melihat sebuah bayangan pria di teras depan ndalem.

Holif tersenyum lebar lalu berjalan mendekat ke bayangan itu. Matanya sekarang benar-benar melihat apa yang sedang ia cari. Di sana ada Gus Fatah yang tengah menelepon seseorang.

📞 "Bilang ke Abah ya, Am. Kalo aku sama Ning Liana nggak jadi ikut ziarah. Ning Liana lagi nggak enak badan soalnya." ucap Gus Fatah saat telepon genggam berada di dekat mulutnya.

📞"Iya-ya, makasih ya, wa'alaikumussalam."

Setelah selesai berbincang-bincang lewat telepon dengan adiknya, Gus Fatah memandangi layar ponselnya sejenak.

"Gus," panggil Holif.

Spontan Gus Fatah memegangi dadanya sembari memutar badan menghadap ke makhluk hawa yang saat ini ada di depannya, dengan wajah tegang. "Mbak Holif?" Cengonya sambil memejamkan mata sejenak sembari menghirup napas  panjang-panjang, karena kaget akan kedatangan santrinya itu yang tiba-tiba. "Ada apa?" Sambungnya bertanya setelah kedua matanya terbuka kembali.

"Eum, njenengan dipanggil Ning Liana," jawab Holif sambil setengah menunduk, karena wajah yang masih menyiratkan ketegangan membuatnya agak takut.

Gus Fatah mengangguk pelan lalu bersiap pergi ke kamarnya. Tapi sebelum itu ia mengajukan pertanyaan terlebih dahulu kepada Holif. "Kamu udah mau pulang, kan?"

"Enjeh." jawab Holif yang membuat Gus Fatah lalu bener-bener pergi menuju kamarnya untuk menemui istri tercintanya yang sedang terbaring tak berdaya di atas ranjang.

Holif berjalan mengikuti Gus Fatah. Tapi, tak sampai masuk kembali ke ruang privasi suami istri itu, ia belok arah menuju teras samping untuk pulang ke asrama, karena masih banyak barang-barang yang harus ia tata untuk berangkat ziarah besok.

Semantara itu saat sudah berada di dalam kamarnya, Gus Fatah tersenyum tipis sambil berjalan mendekati Liana yang menatapnya tanpa ekspresi.

"Lemes banget, Bee," ucap Liana saat Gus Fatah sudah berada di dekatnya.

"Kamu makan dulu ya, Nda? Belum makan kan dari tadi?" tanya Gus Fatah sambil menggenggam tangan kiri istrinya dengan kedua tangannya saat ia berjongkok di sisi ranjang tepat di dekat istrinya yang berbaring di tepian.

Liana mengedipkan kedua matanya bertanda mengiyakan ucapan Gus Fatah. Gus Fatah pun tersenyum lebar lalu segera pergi ke dapur guna membuatkan istrinya teh hangat dan juga membawakannya makanan buka puasa dengan menu berkuah yang ia beli di rumah makannya tadi.

Tak ingin istrinya menunggu lama, Gus Fatah segera kembali lagi ke kamarnya setelah semua yang ia perlukan telah tersedia di atas nampan yang ia bawa.

"Sini, Dinda duduk dulu." Gus Fatah mengangkat perlahan punggung Liana agar wanitanya itu makan dalam keadaan duduk setelah ia menaruh nampan tadi ke atas nakas.

"Panas Bee..." Liana menatap Gus Fatah dengan mata lemah yang memperlihatkan betapa tak berdayanya ia saat ini.

Tanpa menunggu lama lagi, Gus Fatah pergi ke arah kipas angin yang ditaruh di dekat TV untuk ia hidupkan. Setelah kipas angin hidup dengan kepala menoleh ke kanan kiri. Gus Fatah bergegas pergi menghampiri Liana lagi untuk menggulung surai panjang wanitanya sampai rapih.

"Masih panas?"

Liana menggeleng.

"Ya udah, Dinda makan dulu ya, biar cepet sembuh." Gus Fatah lalu duduk di tepi ranjang berpepetan dengan lutut kiri istrinya sambil mengambil nasi berkuah soto yang ada di atas nakas. Apalah daya, ia ingin membuat bubur sum-sum. Tapi, karena tidak ingin perut Liana menahan lapar lebih lama, ia mengambil jalan ini.

"Dikit aja ya?"

"Iya, Sayang. Bismillah ...," Gua Fatah mengangguk lalu muali menyuapi istrinya dengan makanan tadi. Liana pun menguyah pelan makanan yang terasa hambar di mulutnya sampai tiba ketiga suapan, mendadak matanya membulat dengan tangan yang ia angkat guna menutupi mulutnya. Ia berusaha mendorong Gus Fatah supaya memberikan jalan untuknya yang ingin pergi ke kamar mandi.

"Euep,"

Gus Fatah tentu langsung berdiri menyingkir memberikan jalan untuk istrinya, sambil ia menaruh piring yang ia bawa tadi ke atas nampannya lagi.

Hoek ... hoek ... hoek ....

Semua makanan yang Liana telan tadi keluar begitu saja saat ia baru saja sampai di pintu kamar mandi. Rasa mual luar biasa perutnya saat ini membuatnya tak bisa menahannya lagi untuk mengeluarkannya di wastafel.

Hoek.

Liana menutup mulutnya kembali sambil berusaha melompat melewati muntahannya tadi untuk menuju ke wastafel. Sesampainya di depan wastafel lagi-lagi ia muntah, muntah yang lebih banyak dari sebelumnya, yang membuat tenggorokannya terasa sangat perih.

"Keluarin semuanya, Nda." Gus Fatah tiba-tiba berdiri di sampingnya sambil memijat tengkuknya.

"Ya Allaaah." Liana mengusap mulutnya saat perutnya mulai tenang tak memberontak lagi. Ia menoleh ke samping melihat suaminya yang tengah menatapnya dengan wajah sedih dan khawatir.

Gus Fatah lantas memeluk erat pingginganya, sampai dengan sengaja Liana mendoyongkan tubuhnya ke arah suaminya. Ia tidak pingsan maupun ingin pingsan. Ia hanya ingin... bersandar di dada pria itu.

"Minum dulu." Gus Fatah menyodorkan ke arah bibir Liana segelas teh hangat. Liana langsung meminum teh tadi tanpa melepas sandarannya.

Setelah Liana meminum teh sampai menyisakan setengah gelas, Gus Fatah manaruh gelas tadi ke wastafel yang permukaannya lebih lebar dari yang lainnya.

Bismillah, batin Gus Fatah sambil menggendong Liana ala bridal style untuk ia bawa kembali ke ranjang. Liana tak memberikan reaksi apapun selain terkejut akan spontanitas suaminya.

Gus Fatah mulai melangkah menuju ranjang dengan melangkahkan kakinya secara lebar saat melewati muntahannya Liana di depan pintu tadi. Gus Fatah berencana setelah istrinya tidur nanti, ia akan membersihkan tempat-tempat yang Tak sengaja Liana kotori itu.

"Minum obat dulu ya, Nda," suruh Gus Fatah ketika Liana sudah kembali di atas ranjang. Ia pun lalu juga kembali ke kamar mandi untuk mengambil teh yang tadi ia tinggal.

Liana mengangguk lalu segera meminum obat yang suaminya berikan setelah pria itu kembali lagi padanya.

"Mau pake air putih atau teh?" tanya Gus Fatah memberi pilihan saat di tangannya ia menggenggam 2 gelas berisi minuman yang berbeda namun sama-sama hangat suhunya.

"Air putih." jawab Liana lirih, lalu segera Gus Fatah bantu dirinya meminum obat.

"Udah makan, udah minum. Sekarang Dinda tidur lagi ya?" Gus Fatah membantu Liana untuk berbaring kembali.

"Susah napas, Bee...," lirih Liana yang mengingatkan Gus Fatah akan bau parfum perempuan pembeli eskrim tadi sore yang masih bisa ia cium dari badannya.

Pantas saja Liana tak menunjukan reaksi aneh, tenyata hidungnya sulit bernapas, pikir Gus Fatah sambil membuka lemari nakas untuk mengambil freshcare.

"Albee udah makan?" tanya Liana saat hidungnya mulai menghirup freshcare yang baru saja Gus Fatah berikan.

"Belum,"

"Yaudah buru makan,"

"Nanti aja,"

"Kalo nanti-nanti, nanti Albee sakit yang jaga dan rawat aku siapa?"

Gua Fatah mendengus pelan, lalu beranjak pergi dari kamar untuk mengambil makanan. Tapi sebelum itu ia mengecup pelan dahi Liana terlebih dahulu.

"Kamu tidur dulu ya? Cepat sembuh Dinda."













21 April 2020

Gusmu Imamku √Where stories live. Discover now