Part 20🌻

20K 1.7K 34
                                    

Sebelumnya aku masih belum sadar jika akan ada hal menyakitkan yang akan menimpamu tak lama lagi. -Albar Fatahillah

===

Holif datang menemui Ning-nya yang tengah berada di ruangan pengurus, dengan tangan membawa kardus kecil berisi ponsel sitaan. Ia tidak memandang ponsel siapa saja yang diambilnya kali ini, karena sejak pendaftaran, para pengurus pondok ini sudah memperingati wali santri dan santrinya sendiri untuk tidak membawa serta setan gepeng masuk ke dalam pondok sebelum waktu libur resmi diumumkan.

"Assalamualaikum, ini Ning handphone-nya," ucap Holif ketika telah masuk ke dalam ruangan berukuran sedang yang di dalam sana selain ada istri gusnya juga ada beberapa mbak pengurus.

"Wa'alaikumussalam. Taruh sini aja, Mbak," ujar Liana pada Holif sambil menepuk sofa kosong di sampingnya.

"Enjeh." Holif pun lalu berjalan dengan sedikit merendahkan tubuhnya untuk meletakan ponsel tadi tepat di tempat yang Ning-nya tunjukan.

"HP sitaan biasanya diapakan, Mbak?" tanya Liana setelah mbak-mbak pengurus duduk rapih dan tenang di lantai bawah.

Mereka duduk di bawah bukan karena paksaan maupun suruhan, melainkan karena terdapat adanya kesadaran diri pada jiwa masing-masing yang menuntun raga untuk mengharuskan memberikan penghormatan kepada seorang guru maupun Ning-nya yang berstatus istri sekaligus Putri seorang 'alim.

Di karena guru adalah orang tua kedua sekaligus perantara yang dapat menuntun jiwa mereka agar bisa mengenal sejatinya Tuhan semesta alam, pemberian hormat kepada selain orang tua kandung yang bertugas memberi sandang pangan, juga perlu. Jika jiwa mereka nantinya tidak ada yang menuntun dan berakhir rusak, jangankan memberi hormat kepada guru, orang tua pun bisa saja mereka lawan.

Guru dan orang tua sama-sama pentingnya dalam kehidupan manusia. Jika menentang dan tak menghormati salah satunya saja, keberhasilan hidup jarang bisa diraih. Maka dari itu para santri tidak boleh menyepelekan keduanya, sebab keduanya sama-sama kramat.

"Dihancurkan dengan palu di depan semua mbak-mbak, Ning." jawab Laili.

Liana terenyuh beberapa saat, karena jujur ia kurang setuju dengan hukuman model seperti ini, namun sayangnya malah sudah menjadi tradisi di banyak pondok-pondok besar pada umumnya. Ia tidak setuju juga bukan tanpa alasan, melainkan karena Abah kandungnya melarang memberi hukuman terlalu berat juga hukuman yang berhubungan dengan uang kepada para santrinya.

Seperti contoh kecilnya harus membayar denda dengan membelikan semen beberapa sak jika santri ketahuan kabur ataupun telat masuk ke pondok setelah pulang atau kembali dari luar wilayah pondok.

Hukuman seperti itu hanya akan menyiksa perekonomian wali santri yang kurang mampu. Menurut Abah Liana, uangnya lebih baik digunakan membeli kitab saja daripada untuk menebus kesalahan dengan membeli barang yang nantinya menjadi bahan bangunan, karena soal pembangunan sendiri, sudah sejak awal mendaftar segala biaya yang harus dikeluarkan wali santri telah tertulis di kertas pendaftaran, termasuk biaya asrama.

Hal ini juga termasuk alasan mengapa Abahnya melarang merusak barang sitaan, sebab bukan hanya harganya yang mahal, juga karena kemungkinan besar wali santrinya bukanlah orang ber-uang banyak yang mampu membelikan anaknya lagi semudah membalikkan telapak tangan.

Mungkin menggunakan hukuman dengan cara halus seperti membaca Alquran beberapa juz, wirid puluhan ribu, dan bersih-bersih asrama sendirian untuk bebarapa minggu, sedikit membuat beberapa santri bisa merasa jera, tapi setidaknya hal itu tidak akan merugikan banyak pihak.

Gusmu Imamku √Where stories live. Discover now