Part 24🌻

16.2K 1.4K 39
                                    

Memang sulit untuk mengikhlaskan suatu hal yang membuat sakit hati, tapi jika sakitnya sudah menjadi dendam maka itu sudah termasuk penyakit hati yang sukar dihilangkan. —Gusmu Imamku

===

Di tengah malam yang mulai menggelap dan hanya mendapatkan sedikit pencahayaan dari senter kecil, seorang wanita tersenyum miring karena ia yang tak sadar telah memiliki hati picik, sudah menyiapkan rencana yang menurut teman di sampingnya itu sangat jahat juga gila.

"Udah ah Mbak, kamu ikhlasin aja. Nggak baik tauk nyimpan dendam tuh. Mana gak tau diri banget kamu tuh kalo belas dendam. Sadar hey, Beliau itu wanita mulia dari keluarga mulia, insyaaAllah juga akan melahirkan keturunan mulia," ucap kawan dari si hati picik itu yang tengah mengaduk teh manis kemasan, setelah tadi ia mendengarkan rencana yang pemilik penyakit hati sampaikan.

"Mulia-mulia gak peduli! Dia tuh jahat dan gila! Masa tiba-tiba copot jabatan aku cuma karena mau dikasih pemalas kayak Holip sih," ujar si hati picik tadi yang tentu saja sudah bisa kalian tebak siapa orangnya.

Ya, dia Fatma, seorang wanita yang sampai sekarang masih sakit hati atas insiden beberapa bulan lalu karena dicopot jabatannya begitu saja. Bukan hanya karena itu saja sebenarnya, melainkan juga karena ia sudah dicap buruk oleh hampir semua mbak pondok hanya karena pernah memaki istri Gus Fatah. Hal ini tentu saja membuat dirinya merasa tidak bisa mendapatkan keadilan hanya karena ia berada di posisi bawah.

"Udah ah Mbak Fatma, kan Beliau juga emang yang dipercaya Gus Fatah buat menghandle asrama putri. Jadi wajar aja kalo tiba-tiba buat keputusan kayak gitu," terang Muti sambil menyeruput teh gelasnya ditengah-tengah terpaan angin malam yang berhembus kencang.

Dua orang manusia ini sekarang memang berada di atas bangunan yang belum 100% terselesaikan, karena tengah bolos ngaji malam setelah menyelesaikan shalat maghrib beberapa belas menit lalu.

"Kamu kalo nggak mau bantuin aku gak papa kali, Mut. Tapi stop halang-halangi aku dengan omongan sampah yang nggak ada gunanya itu. Keputusanku bulat dan mutlak. Kalo aku harus misahin Gus Fatah sama Liana. Aku benci Liana, bisa-bisanya dia malah bahagia sementara aku diliputi kebencian!" Fatma meremas sarungnya untuk menyalurkan rasa geramnya dengan mata menyorotkan api dendam menyala-nyala.

"Gimana caranya, hah? Yakin banget sih mereka bisa dipisahkan, sementara kamu sendiri aja nggak bisa deketin salah satunya. Aelah Mbak, Mbak. Udah deh halunya, susah tauk buat Mbak Fatma misahin seorang pria yang menjaga kesuciannya kayak Beliau. Terlebih, Gus Fatah sendiri nggak kenal Mbak, jangankan kenal, tau Mbak juga mondok di sini aja enggak. Heuh, yakali manusia sholeh kayak Beliau bisa didekati orang kayak kamu,"

Muti tersenyum tipis, kagum juga sebenarnya dia atas ucapannya sendiri yang penuh dengan kata-kata indah namun tetap saja mengutamakan fakta.

"Bacot lah, Mut! Niatku kan cuma misahin Gus Fatah sama rubah itu. Kalo nanti berhasil dan tiba-tiba dia gantian suka sama aku, bonus akan usahaku itu,"

Entah mendapat keyakinan dari mana, dengan pedenya wanita itu malah mengucapkan kalimat yang bahkan untuk memikirkannya saja Muti tak mampu. Fatma benar-benar sulit tertolong akal, budi, dan pekertinya.

"Istighfar, Mbaaak! Mondok biar punya ilmu adab, malah jadi iblis dari golongan manusia. Berani banget sih ngomong kayak gitu. Dih bisa-bisanya ngomong tanpa mikir. Malah mau misahin pernikahan gurunya sendiri lagi," Muti menoleh ke arah Fatma dan melanjutkan ucapannya.

"Tangiii! Turumu ojo sui-sui! Gusti Allah mboten sare, pasti bakalan jogo rumah tanggane Gus-e kaleh garuwone." Ketus Muti lalu memilih bangkit untuk melenggang pergi meninggalkan Fatma. Ia benar-benar tak sanggup lagi mendengar ucapan temannya. "Banguuun! Tidurmu jan lama-lama! Gusti Allah nggak tidur, dan pasti bakalan jaga kesucian rumah tangga Gus Fatah dengan istrinya."

Gusmu Imamku √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang