Part 41🌻

18.7K 1.3K 62
                                    

Dan kemudian, menjadikan Beliau teman dalam rumah tanggaku adalah hal yang baru saja akan aku usahakan.
-Umi Khalifah

===

Satu tahun kemudian ....

Karena kepepet dengan keperluan putranya yang hampir habis, juga akan mendapatkan kedatangan keluarga besarnya dari Lampung beberapa hari lagi, pagi menjelang siang ini Ning Liana berniat pergi ke supermarket terdekat menggunakan motornya, sebab selain karena ia tak bisa mengendarai mobil, mobil almarhum suaminya sendiri berada di ndalem Gus Amru yang lebih bisa merawatnya.

Ketika telah berada di atas motor, Ning Liana membenarkan posisi putranya terlebih dahulu pada gendongannya agar ia bisa merasa nyaman ketika berkendara nanti.

"Bismillaaah ...." gumam Liana sebelum menjalankan motor.

Perlahan motor mulai melaju tenang, pasti, dan hati-hati menuju gerbang pondok dengan melewati beberapa kakang yang tengah bersih-bersih di selokan yang sudah banyak ditumbuhi rumput liar.

Sebenarnya sejak ditinggal pergi oleh almarhum Gus Fatah kala itu, baru kali ini Liana keluar pondok lagi sebab biasanya keperluannya akan dibelikan oleh Gus Amru dan diantarkan langsung ke ndalemnya oleh Holif. Tentunya Gus Amru tidak lah menggunakan uang pribadi, melainkan uang hasil penjualan dari rumah makan almarhum suaminya.

"Ning Liana!" panggil Holif dari latar ndalemnya yang ditinggali bersama Gus Amru.

Mendengar seseorang baru saja memanggilnya, Ning Liana menghentikan motornya lalu menoleh ke sumber suara dengan senyuman tipis dibalik cadarnya.

"Ning Liana mau ke mana?" tanya Holif yang tengah berjalan mendekatinya sembari tersenyum lebar, tanpa beban.

"Ke supermarket, Mmah. Kenapa?" tanya balik Ning Liana, sebab siapa tahu istrinya Gus Amru itu sekalian ingin pesan sesuatu.

"Bawa Gus Aqih juga?" Holif menyentuh ujung kaki putra kecil Ningnya yang sampai saat ini belum berani ia panggil dengan panggilan akrab layaknya keluarga. Sebab, selama ia belum disentuh Gus Amru jarak dan drajat antara dirinya dengan keluarga Abah mertua tetaplah terlihat jelas di depan mata.

Agus Faqih Baihaqi, bayi kecil yang sejak lahir tak mendapatkan kasih sayang seorang Abah kandung, namun tetap bisa tumbuh berkembang baik di bawah asuhan sang Ummi yang tinggal di lingkungan orang-orang yang belajar agama.

Ning Liana mengangguk pelan.

"Ih jangan, Ning. Lebih baik Gus Aqih dititipkan ke saya dulu. Kan udara di luar nggak bagus, takutnya Gus Aqih nanti sakit," ujar Holif yang sangat suka menakut-nakuti Ning Liana.

Ning Liana menghela napas panjang sembari melepaskan gendongan anaknya dari badannya, sebab ia rada setuju dengan ucapan Holif. "Aqih sama Ammah dulu ya, Nang?" Ia pun lantas memberikan bayinya pada Holif sekalian dengan gendongannya tentunya.

"Asiik, Gus Aqih sama Ammah loh," ucap Holif begitu gembira sembari mengecup pipi kanan putra Ningnya.

"Sama Ammah Aqih jangan rewel ya, Nang? Ummi mau keluar bentar," Ning Liana mengusap lembut kepala anaknya yang terlihat tenang bersama Ammah-nya, mungkin karena Holif sendiri sering menemuinya.

"Ya udah, Mmah. Aku berangkat dulu, assalamualaikum." pamit Ning Liana sembari menjalankan motor setelah mendapat balasan dari Holif.

Ketika punggung Ning Liana perlahan mulai menjauh, Holif berjalan balik ke arah ndalemnya yang ternyata di depan pintu sudah berdiri Gus Amru yang menunggunya memberikan Gus Faqih. Sebab jika tadi ia tidak terlebih dahulu di chat Gus Amru akan kabar kalau Ning Liana mau keluar pondok, ia sendiri yang tadinya sedang berada di dapur tidak akan pernah tahu hal itu.

Gusmu Imamku √Where stories live. Discover now