Step 3

182 31 0
                                    

Memasuki minggu ketiga latihan kami, setiap harinya aku selalu memerhatikan jam yang terletak pada ruang ballet, menunggu waktu yang terasa lama. Ketika kelas dinyatakan berakhir, dengan cepat aku berjalan ke sudut ruangan dan mengambil tasku.

"Duluan, semuanya" ucapku sambil meninggalkan ruang ballet.

Satu per satu ballerina pun ikut meninggalkan ruangan, menyisakan Tiara dan Bu Leni yang masih harus lanjut berlatih untuk International Dance Competition.

"Tiara, sudah siap?"

"Siap Bu" balas Tiara sambil mengalihkan pandangannya dari pintu ruangan itu.

"Bu, ada yang aneh ga sih sama Carissa belakangan ini?" tanya Tiara.

"Aneh gimana?" Bu Leni juga membalasnya dengan pertanyaan.

"Ya biasanya kan Carissa tetep kukuh untuk mau lanjut latihan di ruangan ini tapi sekarang dia malah selalu jadi yang pertama meninggalkan ruangan"

Mendengar ucapan muridnya, wanita yang sudah lama menjadi pelatih di tempat itu hanya tersenyum tipis.

"Gak usah dipikirin, mungkin dia memang lagi sibuk. Yang penting kamu fokus latihan ya"

Tiara pun mengangguk pelan dan kembali berdiri untuk memulai latihan tambahan. Sedangkan kini, giliran wanita paruh baya itu yang terdiam sambil menatap pintu ruang latihan yang tertutup dengan rapat. 

"Dor!" Reynold berusaha untuk mengejutkanku dari balik pintu ruangan.

Dengan cepat aku mengangkat tanganku dan memukul lengannya dengan cukup keras.

"Ah! Coach liat tuh kelakukan partner dance saya" Reynold mengadu kepada Coach Evan layaknya seorang anak SD.

"Dia duluan yang kagetin saya" tidak mau kalah, aku juga ikut mengadu pada Coach Evan.

"Sudah sudah, ayo kita mulai latihan. Sisa 2 minggu lagi sebelum tahap pertama lomba kalian"

Reynold pun melakukan pemanasan sederhana, sedangkan aku mengganti sepatuku sebelum ikut berdiri di sampingnya.

"Mulai hari ini kita akan coba memasukkan berbagai jenis dance lift dan juga flip ke dalam choreo kita. Karena menambahkan hal-hal itu akan menjadi poin plus untuk penilaian juri"

Mendengar ucapan Coach Evan, aku dan Reynold pun saling bertukar pandang. Terakhir kali saat kami coba untuk melakukan dance lift, kami gagal untuk melakukannya dan berujung mendapat kritikan dari Coach Evan.

"Okay, bisa berdiri di posisi kalian"

Reynold mengambil beberapa langkah maju dan berdiri berhadapan denganku.

"Hey" ucap Reynold, membuatku kembali mengangkat wajahku yang sedang menunduk.

"Percaya sama gue, gue ga akan biarinin lo jatuh"

Aku pun membalasnya dengan sebuah anggukan.

"Ready?" Coach Evan memberi aba-aba sebelum memulai lagu dan Reynold meletakkan tangannya di samping pinggangku.

"And... A-lift!"

Reynold mengangkat tubuhku hingga aku berada cukup jauh dari lantai ruangan itu dan menurunkanku dengan perlahan.

"See? kalian sudah mulai memercayai satu sama lain" ucap Coach Evan sambil mengacungkan jempolnya kepada kami.

Melihat reaksi itu, aku dan Reynold ikut tersenyum lebar. Sejak saat itu aku sadar, kakiku tidak lagi melangkah mundur dan tubuhku juga tidak menghindarinya. Rasanya tubuhku sudah mulai menerima Reynold sebagai partner danceku.

"Lo pulang sama siapa?" tanya Reynold yang sedang berjalan menuju pintu keluar bersamaku.

"Dijemput sama supir gue, sebentar lagi juga datang" balasku.

Aku pun berdiri di depan pintu keluar sambil menunggu kehadiran Pak Dedi.

"Lo gak pulang?" tanyaku kepada Reynold yang ikut berdiri di sampingku.

"Sebentar lagi"

Aku tidak tau apa yang ditunggu olehnya tapi ia tetap berdiri di sampingku hingga aku menyadari sebuah mobil yang mendekat. Yang membuatku terkejut saat itu adalah mobil itu bukan mobil yang biasa digunakan oleh Pak Dedi untuk menjemputku, melainkan mobil Andrew.

"Loh Andrew? Kamu sejak kapan balik?" tanyaku saat Andrew turun dari mobilnya.

"Baru aja tadi siang" balasnya sambil mengusap puncak kepalaku.

"Oh ya, kenalin ini Reynold partner dance aku. Dan Reynold ini Andrew, dia-"

"-pacarnya Carissa" Andrew memotong ucapanku dan mengulurkan tangannya kepada Reynold.

"Oh" balas Reynold singkat sambil bersalaman dengan Andrew.

"Umm kalau gitu, gue cabut dulu ya" ucapku kepada Reynold.

Ia pun tersenyum tipis sambil melambaikan tangannya kepadaku. Setelah mobil Andrew meninggalkan tempat itu, aku tetap memerhatikannya melalui kaca spion yang terletak di depan. Pria itu naik ke atas motornya dan pergi ke arah yang berlawanan, perlahan bayangnya pun menghilang.

"Aku ga tau kalau kamu punya partner dance sekarang" ucapan Andrew mengalihkan pandanganku.

"Waktu itu aku mau cerita sama kamu, tapi kayaknya kamu sibuk" balasku sambil tersenyum tipis.

"Kamu bisa cerita sekarang kok"

"Umm jadi-" tepat saat aku hendak memulai ceritaku, ada panggilan masuk yang terkoneksi pada audio mobil dan hal itu pun menghentikan ceritaku. Bahkan sebelum aku sempat memulainya.

"Sorry, sebentar" Andrew mengangkat panggilan teleponnya sedangkan aku mengalihkan pandanganku ke kaca mobil yang terletak di sampingku. Aku lebih memilih untuk menikmati pemandangan malam kota Jakarta.

Sepanjang perjalanan, Andrew tetap sibuk mengangkat panggilan telepon. Ketimbang mendengar musik yang seharusnya dapat ku nikmati melalui radio mobilnya, aku harus mendengarkan obrolan bisnisnya. Hal itu cukup membuatku muak.

"Babe, aku ga bisa masuk. Titip salam buat papa mama kamu ya" ucap Andrew saat aku sudah mengambil beberapa langkah masuk ke dalam halaman rumah.

Aku hanya membalasnya dengan anggukan dan melangkah masuk ke dalam rumah.

"Ma, pa" panggilku saat melihat kedua orang tuaku di meja makan.

"Kamu udah makan?" tanya mereka dengan mata yang saling terpaku pada layar handphone masing-masing.

"Belum, tapi ga laper" balasku sambil terus berjalan menuju kamarku.

"Papa dengar Andrew sudah balik dari Medan ya? Kamu ajak dia makan gih besok, reservasi aja pakai kartu papa"

"Iya sekalian bawa wine yang baru mama beli dari New York itu ya"

Andrew, Andrew dan Andrew, orang tuaku lebih tertarik dengan pria itu ketimbang anaknya sendiri.

"Ga perlu, dia sibuk" ucapku sebelum menutup pintu kamarku rapat-rapat.

DanceMateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang