Step 4.4

148 23 0
                                    

Hari demi hari yang berlalu hanya memberi luka yang semakin dalam pada diriku, karena itu tandanya aku harus segera membuat pilihan.

"Permisi Non, makan dulu yuk. Bibi sudah buatkan nasi bakar kesukaan kamu loh" ucap Bi Isti yang baru saja membuka pintu kamarku.

"Aku gak lapar, Bi" balasku sambil membalik tubuhku dan menghadap ke sisi yang berlawanan.

"Yasudah Bibi letakkan di sini, kalau lapar makan ya" Bi Isti meletakkan sepiring makanan pada mejaku dan meninggalkan kamarku.

"Gimana? Diterima ga?" tanya Pak Dedi yang sedang berdiri di depan kamarku, Bi Isti pun membalasnya dengan menggelengkan kepalanya.

Aku bangkit dari posisiku dan meraih handphone yang terletak pada sisi ranjangku. Sambil membuka gallery handphoneku, aku kembali melihat foto-foto yang ku ambil belakangan ini. Mulai dari foto saat perlombaan kemarin, foto Coach Evan yang diam-diam aku dan Reynold ambil di tengah latihan, hingga fotoku dan Reynold saat camping waktu itu. Foto-foto itu membuatku kembali tersenyum, hal yang sebelumnya tidak dapat ditemukan pada wajahku selama beberapa hari ke belakang ini.

Jam menunjukkan pukul 6 malam, aku membuka daftar kontak pada handphoneku dan menunggu hingga teleponku terhubung dengannya.

"Halo? Bisa jemput gue sekarang?"

***

Setelah berhasil keluar secara diam-diam dari rumah, aku melihat Reynold yang sedang duduk di atas motornya.

"Ambil" aku melempar tas milikku kepada Reynold dan menutup pintu pagar dengan rapat.

Aku tidak tau apa yang membuatku berani melakukan hal se-nekat ini tapi yang pasti, aku tau aku membutuhkan hal ini. Keluar dari kamar dan rumahku yang jelas tidak akan memberikan jawaban apa-apa untukku.

"Nih" Reynold menyerahkan segelas air hangat kepadaku.

"Thank you"

Kami pun duduk bersebelahan di samping kolam renang yang terletak di bagian belakang rumah Reynold.

"Rumah ini kelihatan lebih besar tanpa tamu lainnya"

Reynold menganggapi ucapanku dengan seulas senyuman.

"Gue juga masih ga terbiasa dengan rumah ini, tempat yang gue jangkau di rumah ini sehari-hari cuma sampai batas kamar gue"

Aku menatap segelas air hangat yang ada pada tanganku sambil menggerakkan kakiku yang sudah setengah terendam air kolam.

"Gue ga tau harus apa"

Reynold menghadap ke arahku, menunggu kalimat berikutnya yang akan keluar dari mulutku.

"Rasanya gue seperti air yang ada di gelas ini. Begitu dia di tuang ke kolam yang luas, dia akan tersesat di tengah tetesan air lainnya"

"Kalau lo jadi gue, lo bakal pilih apa?" tanyaku sambil menghadap ke arah Reynold.

Reynold tersenyum tipis sambil menundukkan kepalanya.

"Pertanyaan ini rasanya sama kayak kondisi gue beberapa bulan yang lalu, saat itu gue juga bingung harus memilih untuk meninggalkan team gue atau bertahan pada zona nyaman itu"

"Tapi seiring berjalannya waktu, gue temuin jawabannya"

"Apa?" tanyaku.

"Melakukan hal yang bisa bikin gue berkembang sebagai seorang Reynold yang lebih maju selangkah dari Reynold yang ada pada saat itu"

"Sa, hidup itu ga akan luput dari pilihan. Sampai ujung hidup lo, lo juga tetap akan dipertemukan dengan pilihan. Dan untuk memilih itu ga susah kok, diri kita aja yang mempersulit keadaan. Cukup dengan pikirin apa yang bisa bikin lo berkembang sekaligus yang bisa bikin lo bahagia ngelaksanainnya, itu udah lebih dari cukup. Karena ini kehidupan pertama dan terakhir lo sebagai seorang Carissa"

Aku mengangguk pelan dan meneguk segelas air hangat yang sedari tadi berada pada tanganku.

"Wanna dance?" tanya Reynold sambil membuka telapak tangannya, menungguku untuk menerima tawarannya. Aku pun meletakkan tanganku dan menerima tawaran itu.

Reynold membawaku ke jembatan yang terdapat di tengah-tengah kolamnya. Jembatan kaca itu cukup luas untuk kami bergerak. Sambil memutar lagu This Is Me, aku dan Reynold mulai menggerakkan tubuh kami, tanpa aturan dan tanpa beban. Cukup dengan mengikuti alunan lagu itu dan ke mana hati kami akan membawa langkah kami. Melakukan hal yang aku sukai memang jelas merupakan langkah yang tepat untuk mengangkat beban yang ada pada pikiranku. Dengan menari, aku merasakan letak dimana kebahagiaanku berada.

Lagu menyentuh klimaks dan kami bertemu di tengah-tengah jembatan. Aku meletakkan kedua tanganku pada bahu Reynold, ia pun mengangkatku dan memutar tubuhku. Aku menatap kedua mata Reynold dengan lekat, begitu juga dengannya.

Setelah lagu berakhir, kami merebahkan tubuh kami di atas jembatan itu. Pandangan kami juga mengarah pada titik yang sama, langit yang terlihat gelap malam itu.

"Kayaknya hari ini lagi ga ada bintang" ucapku.

"Masa sih? Gue liat satu kok"

"Mana?" aku menoleh ke arah Reynold sambil menunggunya menunjuk bintang itu.

"Ini" Reynold menghadapkan wajahnya ke arahku, posisi kepalanya yang berada tepat di sampingku pun membuat tatapan mata kami langsung bertemu dengan satu sama lain.

Sadar apa yang dimaksud olehnya, aku membuang tatapanku darinya dan tertawa kecil.

"Yang dinamakan dengan bintang itu ga selalu yang bersinar di atas sana, tapi juga yang bisa bersinar dengan sendirinya. Seperti lo, gue bisa liat itu setiap lo menari"

Aku kembali menatapnya, aku tidak tau mengapa kata-katanya selalu berhasil membuatku merasa tenang dan hangat. Rasanya aku seperti berada di dalam balutan selimut tebal.

"Apa pun yang akan lo pilih dan kemana pun pilihan itu akan membawa lo, lo tetap akan bersinar dengan terang"

Aku tersenyum tipis dan kembali menghadap ke atas sana, memandang langit yang gelap. 

DanceMateWhere stories live. Discover now