Step 5.1

155 21 0
                                    

Tempat itu memang berjarak cukup dekat dari tempat penginapan kami, hanya membutuhkan 5 menit untuk berjalan kaki ke sana. Meskipun sudah lewat dari jam makan malam, tempat ini masih ramai akan pengunjung.

"Bu, Gudeg komplitnya dua ya" ucap Reynold kepada pemilik tempat itu.

"Lo mau minum apa?"

"Teh hangat aja" balasku.

"Teh hangatnya dua Bu, yang satu dipakein es"

"Es teh dong itu jadinya?" tanyaku bingung.

"Es teh hangat jadinya" balas Reynold sambil duduk pada salah satu meja yang masih kosong. Aku hanya menanggapi ucapannya dengan tawa dan menempati tempat duduk yang berhadapan dengannya.

Sambil menunggu makanan kami dihidangkan, aku melihat ke sekeliling. Tempat ini cukup unik, aku tidak pernah mengunjungi tempat makan seperti ini sebelumnya. Letaknya tepat di samping jalanan yang begitu luas dan bahkan tempat duduk kami hanya beralaskan sebuah karpet panjang.

"Kenapa? Apa lo kurang nyaman di tempat seperti ini?" tanya Reynold.

"Nggak, seru aja gue bisa nyobain makan di tempat seperti ini"

Reynold pun mulai tersenyum.

"Ini pesanannya" seorang pria tua meletakkan dua piring makanan dan dua gelas teh di hadapan kami.

"Terima kasih" ucap Reynold sambil menyiapkan peralatan makan dan meletakannya di samping piringku.

"Cobain deh"

Aku mengangkat se-sendok nasi dan lauk yang terdapat di piring itu dan memasukkannya ke dalam mulutku. Percayalah, Gudeg itu adalah Gudeg terenak yang pernah ku coba. Rasanya pas di lidahku dan setiap potongannya membuatku tidak bisa berhenti memasukkan suapan demi suapan berikutnya ke dalam mulutku.

"Enak?"

"Banget!"

Mendengar respon positif dariku, Reynold pun mulai menikmati makanannya juga.

Lagi-lagi ada suara notifikasi dari handphoneku yang membuatku harus meletakkan peralatan makanku.

Andrew : call me ASAP, okay?

Dengan kesal aku menutup layar handphoneku, rasanya nafsu makanku telah hilang begitu saja.

"Cowo lo nyariin ya?" tanya Reynold sambil memotong telur yang ada di atas piringnya.

Aku mengangguk pelan sambil memutar sendokku di tengah piring yang masih setengah terisi.

"Lo kok bisa sih bertahan sama cowo kayak gitu se-lama ini?" ucapan Reynold membuat gerakan tanganku terhenti.

"Rey, let's not talk about this okay?"

"What? I mean dia kaku, arogan and he's absolutely not cool"

"Rey-"

"-dan dia ga pernah luangin waktunya untuk mendengar keluh kesah lo, apa itu yang lo cari dari sosok seorang 'pacar'?"

Merasa cukup terganggu dengan ucapannya, aku pun meletakkan peralatan makanku dan membalas tatapannya dengan tajam.

"Lo memang ga pernah tau batas ya" ucapku kesal sambil berdiri dari tempat dudukku.

Aku berjalan meninggalkan Reynold di tempat itu. Sambil melangkahkan kakiku dengan penuh kesal, aku terus berjalan lurus menyusuri trotoar itu.

"Sa, tunggu! Carissa" Reynold menahan lenganku dan membuatku kembali menghadapnya.

"Maaf, oke?"

"Lo tuh emang bisanya cuma ngeluarin kata 'maaf' ya ke gue dan bodohnya gue selalu dengan gampang memaafkan lo"

"Oke gue memang lewat batas tadi tapi, omongan gue bener kan? Memang cowo lo itu ga pernah luangin waktunya buat lo"

Aku tersenyum menyeringai sambil memutar bola mataku.

"Terus apa? Lo mau gue putus dari dia? Memangnya lo bisa lebih baik darinya?" dengan paksa aku melepas lenganku dari genggaman tangan Reynold dan kembali melangkahkan kakiku dengan kesal.

"Iya, gue bisa kasih lo lebih! Gue bisa luangin waktu gue buat lo, gue bisa mendengar keluh kesah lo, gue bisa selalu ada di sisi lo kapan pun lo membutuhkan gue, gue bisa menari sama lo kapan pun lo mau dan gue.... gue bisa buktiin kalau gue lebih sayang sama lo daripada cowo itu!"

Mendengar ucapannya, langkah kakiku terhenti. Tanganku yang sebelumnya ku kepalkan dengan kencang, mulai melonggar dan menyisakan ruang bagi angin untuk masuk. Aku terdiam pada posisiku tapi, aku sama sekali tidak bisa membalik tubuhku untuk menatap kedua matanya.

"Selama ini gue pendam rasa itu tapi sorry Sa, gue udah ga bisa tinggal diam lagi ngeliat lo masih berada pada pelukan seorang pria yang jelas ga selayaknya mendapatkan sosok perempuan seperti lo"

"dan semakin lama gue menghabiskan waktu sama lo, gue tau lo juga mulai merasakan hal yang sama. Tapi sayangnya lo ga bisa mengungkapkan itu karena lo takut, lo takut dianggap sebagai seseorang yang telah mengkhianati hubungannya. Lo-"

Sebuah tamparan menghentikan ucapannya. Aku tidak bermaksud untuk melakukan itu tapi, rasanya seluruh rasa kesal dan amarahku sudah terkumpul pada telapak tanganku hingga akhirnya mendarat pada pipi Reynold.

Sambil memutar kepalanya dengan perlahan untuk menatap kedua mataku, ia terus-terusan mengangguk.

"Okay, I got it" ucapnya sambil melangkah meninggalkanku.

Setelah langkahnya cukup jauh di depan sana, aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Tetesan air mata yang mulai keluar dari kedua mataku pun perlahan membasahi telapak tanganku. Semuanya terasa salah.

DanceMateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang