Step 4.5

152 19 0
                                    

"Permisi"

"Eh Carissa, sini masuk" ucap Tante Imel, mempersilahkanku untuk masuk ke dalam rumahnya.

"Kamu kok tumben ke sini sendirian, ada apa?"

"Carissa mau ketemu Tiara, Tan. Bisa?" tanyaku sambil duduk pada sofa yang terletak pada ruang tamu rumah itu.


Setelah melewati anak tangga yang membawaku ke lantai dua rumah ini, aku menarik napas panjang dan mengetuk pintu yang kini berada di depanku.

"Masuk"

Aku membuka pintu kamar itu dengan perlahan dan kini, aku dapat melihat Tiara yang sedang duduk di atas ranjangnya. Tiara pun dengan cepat mengalihkan pandangannya saat melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya itu.

Aku menarik salah satu bangku yang ada di dalam kamarnya dan meletakannya di samping ranjangnya itu.

"Kaki lo... gimana?"

"Ya gitu deh, lo bisa liat sendiri kan?" balasnya dengan pandangan yang mengacuhkanku.

Pandanganku pun teralihkan pada kaki kanannya yang sedang terbalut dengan perban.

"Lo seneng kan ngeliat gue begini?" tanyanya.

"Lo masih sempet-sempetnya berpikir seperti itu?"

"Ya secara posisi lo sebagai alternate kan sekarang bisa naik jadi kontestan utama, itu yang lo inginkan sejak awal kan?"

"Ra, gue ngerti kita ini selalu diposisikan sebagai rival tapi percayalah, gue ga pernah senang di atas penderitaan orang lain"

Mendengar balasanku, Tiara mulai mengalihkan pandangannya. Kini, ia menatap kakinya yang sedang mengalami cedera.

"Sejak gue dipertemukan sama lo di kelas balet, gue selalu merasa tersaingi. Lo selalu bisa menunjukkan yang terbaik tanpa harus berusaha keras.Karena lo, memang terlahir untuk menari. Beda dengan gue yang harus terus berusaha keras untuk mencapai posisi yang diinginkan"

Tiara mengarahkan pandangannya ke arahku, menatapku yang sedang serius mendengar ucapannya.

"Gue udah denger semuanya dari Bu Ira, sekarang tersisa pilihan lo. Gue benci kalah tapi gue yakin, yang gue lakuin sekarang adalah mengalah dan mengalah itu berbeda dari kalah"

"Apapun pilihan lo, gue harap lo bisa mewakili Indonesia di tahap internasional"

Aku menundukkan kepalaku sambil tersenyum tipis.

"And you gonna make it too, one day" lanjutku.

Tiara mengangguk pelan sambil tersenyum tipis kepadaku.

***

Kini, tersisa satu hal lagi yang harus ku selesaikan. Hal itu membawaku di depan ruangan Bu Ira dengan maksud untuk memberitahu pilihan akhirku. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk tiba pada keputusan ini. Tapi, aku sebisa mungkin memilih pilihan yang tidak akan ku sesali kelak.

Setelah meninggalkan ruangan Bu Ira dengan hembusan napas lega, aku tidak sengaja melihat Coach Evan dan Bu Leni yang sedang berdiri berhadapan.

"Kalau bukan merebut, lalu kamu sebut itu dengan apa?" tanya Bu Leni dengan nada suara yang berbeda dari biasanya.

"Saya ga pernah memiliki tujuan untuk merebut posisi kamu di team itu, semua itu murni karena keputusan Pak Haris"

"Kamu jelas-jelas bilang ke saya kalau kamu tidak ingin mengikuti lomba itu Evan, seharusnya kamu bisa memberikan posisi kamu kepada saya waktu itu! kamu sendiri tau seberapa pentingnya lomba itu bagi hidup saya"

"Sudah, percuma menjelaskan ke kamu sepanjang apa pun kamu juga tidak akan mengubah sudut pandangmu itu. Yang penting, jangan pernah menghubungkan hal itu dengan murid kita sekarang. Biarkan dia memilih apa yang dia inginkan" setelah selesai mengatakan hal itu kepada Bu Leni, Coach Evan menghadapkan tubuhnya ke arahku. Sepertinya ia terkejut akan kehadiranku di sana.

"Carissa"

Mendengar nama yang disebut oleh Coach Evan, Bu Leni pun ikut menghadapkan tubuhnya ke arahku.

"Carissa, kamu sejak kapan di sini?"

"Belum lama, tapi sudah cukup untuk mendengar kisah kalian" balasku sambil tersenyum tipis.

"Maaf, kami-"

"-Ibu ga perlu minta maaf kok" aku memotong ucapan Bu Leni dan berjalan melewatinya beserta Coach Evan yang masih berdiri pada posisi yang sama.

"Oh ya, kalian jangan khawatir. Saya sudah menyerahkan pilihan saya terlebih dahulu sebelum mendengar cerita tadi. Jadi, pilihan ini murni datang dari saya dan saya harap tidak akan ada yang dikecewakan lagi" lanjutku sebelum masuk ke dalam lift yang sudah terbuka.

Setelah pintu lift tertutup, aku bersandar pada sisi lift sambil memejamkan kedua mataku. Ada sedikit perasaan bersalah yang timbul pada hatiku, mengingat beberapa orang yang akan dibuat kecewa olehku.

***

Sambil menutup koperku dengan rapat, aku memandang ke arah jam yang terletak pada sekeliling pergelangan tanganku. Aku menarik pegangan yang terletak pada koperku sambil berjalan keluar dari kamarku.

"Kamu mau ke mana?" tanya mama yang sedang duduk di ruang tamu.

"Kamu tau kan pilihan kamu ini hanya akan memperburuk situasi?"

Aku meletakkan koperku di samping sofa dan berjalan menghampiri mama yang sedang melipat kedua tangannya.

"Ini kehidupan Carissa ma. Mama, papa dan orang-orang lainnya hanya bagian dari kehidupan Carissa, bukan pengatur sekaligus penentu jalan hidup Carissa"

"Aku udah bikin pilihan aku dan apapun yang terjadi setelah ini, aku yang akan jalanin. Bukan mama maupun papa. Jadi, biarkan aku menentukan jalan hidup aku sendiri"

Aku membalik tubuhku dan kembali menarik koperku ke arah pintu.

"Non, biar saya antar ya" ucap Pak Dedi sambil membuka bagasi mobil.

"Gak usah Pak, saya bisa berangkat sendiri kok. Bentar lagi Bapak juga harus siap-siap antar mama kan?"

"Keburu kok"

"Gapapa Pak, lagi pula saya juga sudah pesan taxi" ucapku sambil menunjuk taxi yang sedang menungguku di luar pagar. Aku pun menarik koperku dan melangkah keluar.

"Sukses selalu ya Non, Bapak bantu doa" ucap Pak Dedi yang membantuku menutup pagar rumah. Aku tersenyum dan membalasnya dengan anggukan.

Setelah membalik tubuhku, aku menatap taxi yang sedang menungguku. Sambil memejamkan kedua mataku, aku menarik napas panjang. Hal itu menjadi tanda dari langkah baru dari hidupku.

"Coach, kalau... Carissa ga datang gimana?" tanya Reynold yang sedari tadi sedang menunggu dengan penuh cemas.

Coach Evan tersenyum sambil menurunkan koran yang sedang dibacanya.

"Ga usah khawatir" ucapnya sambil menunjuk muridnya itu yang sedang berjalan ke arahnya.

Sambil menarik koperku, aku dapat melihat Reynold dan Coach Evan yang sedang tersenyum lebar di depan sana.

DanceMateWhere stories live. Discover now