Step 3.1

170 23 0
                                    

"Terus ya, gue udah berhasil ngelakuin dance lift bareng Reynold! Padahal sebelumnya tubuh gue selalu reflek nolak dia dan malah menghindar tapi sekarang gue dengan mudah memercayai dia" ucapku secara antusias sambil bercerita kepada Katrin yang sedari tadi tidak dapat berhenti memasukkan potongan pancake ke dalam mulutnya.

"Lo denger gue ga sih?" tanyaku kepada Katrin yang sibuk memotong potongan pancake selanjutnya.

"Iya iya denger, lagian lo dari tadi cerita tentang cowo itu mulu. Cowo lo sendiri gimana?"

"Baru balik dari Medan, ya tetap gitu sibuk sama handphone dan bisnisnya. Gue aja ga tau dia pacaran sama siapa, rasanya dia lebih banyak menghabiskan waktu sama handphonenya daripada sama pacarnya sendiri" balasku sambil meletakkan peralatan makanku.

"Ya wajar lah, dia kan emang calon penerus perusahaan bokapnya"

"Katrin, kalau lo ga mau gue marah lo harus stop ucapin hal itu oke? Gue udah muak dengar itu dari orangtua gue juga"

"Fine" balas Katrin.

***

"Yang kemarin itu cowo lo?" tanya Reynold di tengah latihan kami.

"Fokus, oke? Lagian lo juga dengar sendiri kemarin" balasku sebelum melakukan beberapa putaran dengan tubuhku.

"Well, he looks lame" ucap Reynold setelah ia melakukan sebuah knee slide dan kembali berdiri di hadapanku.

Aku pun mengambil kesempatanku untuk menginjak kakinya agar dapat membuatnya terdiam.

"Ouch! Chill, okay?" ucapnya sambil menahan rasa sakit akibat injakanku.

"Okay, kita lanjut lagi besok ya" ucap Coach Evan setelah kami menyelesaikan tarian kami.

Aku berjalan ke sudut ruangan dan mengambil tasku.

"Hari ini lo dijemput siapa? Cowo bersetelan rapi itu lagi?" ucapan Reynold berhasil membuat langkahku terhenti.

"Mind your own business " aku kembali berjalan keluar dari ruang latihan, meninggalkan Reynold yang masih berada di dalam sana.

"Jangan bangunin macan yang sedang tertidur" sahut Coach Evan yang diam-diam memerhatikan tingkah kedua muridnya itu.

Reynold pun hanya dapat tersenyum, ia tidak tau pria itu mengamatinya sedari tadi.

"Kamu masih latihan sama teman-temanmu itu?" tanya Coach Evan.

"Masih"

"Apa... mereka tau tentang ini?"

Mendengar ucapan Coach Evan, senyum yang semula ada pada wajah Reynold perlahan memudar. Ia hanya dapat membalasnya dengan menggelengkan kepalanya.

"Sooner or later, mereka akan tau itu. Kau tau itu kan?" Coach Evan menepuk bahu Reynold sebelum meninggalkannya di dalam ruangan.

Reynold jelas mengetahui itu, hal itu sudah berhari-hari terjebak di dalam pikirannya. Ia sedang berusaha mencari cara untuk memberitahu sahabat-sahabatnya itu. Tapi di lain sisi, ia juga tidak ingin melukai perasaan mereka.

***

Setelah pulang dari latihan, aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Ntah mengapa akhir-akhir ini pergelangan kaki kananku kembali terasa sakit. Rasa sakit itu sama seperti yang ku rasakan satu tahun yang lalu saat aku mempersiapkan diri untuk sebuah kompetisi ballet. Aku terus memijatnya dengan pelan sambil menahan rasa sakit yang ku rasakan.

"Masuk" ucapku setelah mendengar suara ketukan dari pintu kamarku.

"Kamu lagi sibuk?" tanya mama setelah membuka pintu kamarku.

"Nggak, lagi istirahat aja"

Mama berjalan menghampiriku dan duduk di sampingku.

"Kamu ingat Om Marcus? Teman mama sama papa yang tinggal di Seattle itu"

"Ingat, ada apa memangnya?"

"Jumat ini akan ada pesta untuk menyambut kepulangannya, kamu ikut ya"

Aku memutar bola mataku, aku sudah menebak arah dari pembicaraan ini.

"Ma, aku kan udah bilang kalau weekday jadwal aku udah cukup padat sama latihan"

"Iya mama tau tapi kamu sendiri tau kan Om Marcus itu teman baik papa, dia yang pertama kali bantu papa waktu bangun bisnisnya"

"Tapi-"

"-mama janji ga akan ganggu jadwal kamu lagi selama beberapa bulan ke depan"

Aku terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya meng-iyakan ajakan mama.

"Good, itu baru anak mama" ucap mama sambil mengusap punggungku pelan dan pergi meninggalkan kamarku.

Hidupku memang tidak pernah bisa lepas dari bisnis. Kedua orang tuaku selalu memprioritaskan bisnisnya, begitu juga dengan pacarku sendiri yang 'fanatik' dengan perusahaan keluarganya itu. Mungkin itu alasan mengapa aku merasa nyaman ketika berada di sekitar Coach Evan dan Reynold. Karena hanya dengan mereka, aku dapat melupakan hal itu untuk sejenak.

Di sisi lain, Reynold juga sedang membaringkan tubuhnya di atas sofa kecil yang terletak di kamarnya. Ia terus-terusan memandang layar handphonenya. Ntah sejak kapan 'hobby' barunya sebagai stalker muncul, hingga belakangan ini ia sering menghabiskan waktunya dengan melihat akun Instagram Carissa. 

Sampai akhirnya ada sebuah panggilan telepon yang membuat aktivitasnya itu terhenti.

"Halo? Ada apa ma?" tanya Reynold, menjawab panggilan telepon dari ibunya.

Mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya melalui telepon genggamnya itu, ia terbangun dari posisinya.

"Apa??" ucapnya terkejut.

DanceMateWhere stories live. Discover now