Step 6

168 18 3
                                    

"WHAT?? Lo putus sama Andrew???"

"Ssshhh kecilin suara lo!" ucapku sambil memastikan tidak ada orang rumah yang mendengar ucapan Katrin.

"Sorry, gue ga duga aja lo bisa putus sama Andrew"

"Lo tau kan, gue selalu ngelakuin yang terbaik and that's one of the best way too" balasku sambil memotong potongan kue yang ada di piringku.

"Tapi aneh deh, kok gue ga ngerasa sedih ataupun galau gitu ya? Bukankah seharusnya itu yang dirasakan orang-orang waktu putus?" lanjutku dengan ekspresi bingung.

Katrin tertawa kecil sebelum membalas ucapanku.

"Itu karena lo akhirnya ngelakuin hal yang selama ini pengen lo lakuin. Tapi sayangnya, sebelumnya lo ga punya alasan untuk melakukan hal itu"

"Dan sekarang lo udah temuin alasannya, makanya lo lebih merasa lega ketimbang sedih"

"Alasan?" tanyaku bingung.

"Iya, tuh" ucap Katrin sambil menunjuk nama Reynold yang terpapar pada layar handphoneku.

Aku berdiri dari tempat dudukku sambil membawa handphoneku dan mengangkat panggilan telepon yang baru saja masuk dari Reynold.

"Coach Evan mau kita ke tempat latihan sekarang" ucap Reynold tepat setelah aku mengangkat panggilan telepon darinya.

"Sekarang?"

Hari ini adalah hari minggu, yang artinya ini merupakan hari libur kami dari latihan dan aku tidak tau ada situasi darurat apa yang membutuhkan kami untuk berkumpul di ruang latihan hari ini.

"Ada apa, Coach?" tanyaku sambil menghampiri Coach Evan yang sedang duduk di tengah ruang latihan bersama Reynold.

"Duduk dulu" ucap Coach Evan sambil menepuk lantai di sampingnya.

Aku pun meletakkan tasku dan duduk di sampingnya.

"Saya baru saja menerima berita tentang kontestan yang akan bersaing dengan kalian"

Coach Evan mengambil tablet miliknya dan menunjukannya kepada kami.

"Dari 10 kontestan, ada 2 yang kemungkinan akan menjadi saingan terberat kalian"

Reynold mengambil tablet tersebut dari tangan Coach Evan dan meletakannya di antara kami.

"Sam dan Rachel?? Mereka kan salah satu top 5 dari Asia Got Talent tahun lalu"

"Ada yang lebih mengejutkan"

Dengan cepat aku menyentuh tablet tersebut dengan jari telunjukku dan melakukan scroll dengan cepat. Jariku pun berhenti setelah melihat dua wajah yang familiar.

"No way...." Ucap Reynold saat melihat sepasang kontestan itu.

"Mereka yang tampil di acara World Best Dancer itu kan??"

Coach Evan mengangguk. Aku dan Reynold pun masih terkejut akan nama-nama yang baru kami lihat dengan mata kepala kami sendiri. Ini tidak akan mudah.

"Melihat kontestan-kontestan yang akan bersaing untuk merebut posisi yang sama dengan kalian, saya pikir dengan koreo yang sudah kita siapkan sebelumnya tidak akan cukup"

"Jadi maksudnya, kita mau ubah koreo kita gitu? Dalam waktu 2 minggu sebelum keberangkatan kita ke LA?" tanya Reynold.

"Tidak mengubah, tapi menambahkan"

Aku dan Reynold pun saling bertukar pandang, kami sama-sama tidak memahami ucapan Coach Evan.

"Ini" Coach Evan mengeluarkan dua buah kain berukuran kecil dari tas miliknya dan memberikannya kepada kami.

"Ini.. buat apa?"

"Kalian akan menari dengan itu, di mata kalian"

"APA?" ucap aku dan Reynold secara bersamaan.

***

"Satu Ice Americano dan satu Green Tea Frappuccino" ucap Reynold kepada seorang barista café.

"Lo tau dari mana gue mau pesen itu?" tanyaku sambil berjalan menuju sebuah meja yang masih kosong.

"Cuma minuman itu yang lo bawa ke ruang latihan lebih dari 2 kali dalam seminggu" balas Reynold sambil menarik tempat duduk yang ada di depannya.

"Rey, apa lo yakin kita bisa nari dengan kondisi mata yang tertutup?"

Reynold menaikkan kedua bahunya sambil menatapku ragu.

"Ntah, tapi kita ga akan tau kalau kita nggak mencoba kan?" balasnya.

"Iya sih"

Kami sama-sama menikmati minuman yang baru saja dihidangkan, beserta dengan pemandangan yang dapat terlihat melalui kaca di samping kami.

"Eh eh, lo liat berita ga? Ada dua orang Indonesia yang terpilih ke babak internasional di kompetisi nari ternama itu loh" ucap seorang perempuan dari meja yang terletak di belakang kami. Mendengar ucapannya, aku dan Reynold reflek menatap satu sama lain dan menundukkan kepala kami.

"Ah iya tuh, gue baca di portal berita menit.com" balas perempuan lainnya.

"Cewe itu... siapa namanya?" tanya seorang pria yang berada pada meja yang sama.

"Carissa Leandra"

"Iya, itu! Dia persis kayak tipe gue"

Mendengar ucapan laki-laki itu, aku memandang Reynold sambil menutup mulutku rapat-rapat. Reynold yang terlihat sedikit terganggu dengan ucapan pria itu pun melepas topinya dan memasangnya di atas kepalaku.

"Mata lo emang jeli kalau liat cewe cantik" ujar seorang perempuan, menanggapi ucapan pria itu.

"Ye, ngaku aja lo juga demen kan sama cowo itu"

"Eh tapi kalian tau ga? Cowo itu namanya Reynold Ganendra"

"Ganendra? Anaknya Marcus Ganendra?"

"Iya, gue denger dia anak tiri dari Marcus Ganendra"

Ucapan itu jelas membuatku dan Reynold sama-sama merasa tidak nyaman. Reynold pun memasang hoodie jaketnya untuk menutupi kepalanya.

"Ternyata gini ya rasanya" ucap Reynold yang sedang berjalan di sampingku.

"Jadi seseorang yang identitasnya diketahui oleh publik"

Aku menatapnya sambil berusaha menyesuaikan langkahku dengannya. Sejak hari itu, berita tentang lolosnya kami ke babak Internasional menyebar dengan luas. Bahkan followers Instagramku mengalami kenaikkan sebanyak 10 ribu dalam satu minggu. Hal itu membuatku sadar betapa besarnya pengaruh media dalam kehidupan kita saat ini.

Akibat tidak memerhatikan jalanan yang kurang rata, kakiku hampir kehilangan keseimbangan. Tapi seperti biasanya, tangan Reynold sudah terlebih dahulu memegang lenganku sebelum tubuhku sempat terjatuh.

"Ah...." lagi-lagi aku merasakan rasa sakit yang berasal dari pergelangan kaki kananku.

"Naik" ucap Reynold yang sudah berlutut dan menghadapkan punggungnya ke arahku.

"Lo kenapa ga cek ke Dokter aja sih?" tanya Reynold sambil membawaku di atas punggungnya.

"Gue takut"

"Takut?"

"Iya, gue takut untuk mendengar hasil yang mengatakan kalau gue ga akan bisa menari lagi di atas panggung"

"Satu hal yang menjadi ketakutan terbesar gue adalah mendengar kata 'berhenti' saat gue menari. Karena gue takut itu akan menjadi saat terakhir kalinya gue bisa menari dengan lincah di atas panggung, sedangkan hal itu udah menjadi bagian paling penting dalam hidup gue" lanjutku.

Langkah Reynold pun terhenti, membuatku mengalihkan pandanganku kepadanya yang berada di bawah kepalaku. Ia menurunkanku dengan perlahan dan membuatku tersadar bahwa kami sudah tiba di depan gedung Belle.

"Thanks" ucapku sambil berjalan ke arah mobilku, Pak Dedi pun membuka pintu mobil untukku.

Dari dalam mobil, aku dapat melihat Reynold yang masih berdiri terdiam pada posisi yang sama. Aku tidak tau arti di balik diamnya itu.

DanceMateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang