Step 5.4

159 25 0
                                    

Jogja beserta kenangannya, aku akan meninggalkan kota ini dalam hitungan menit. Setelah duduk pada tempat dudukku, aku terus memandang pemandangan luar dari jendelaku. Aku tidak tau apa yang akan terjadi ketika pesawat ini lepas landas dan kembali membawaku ke kota yang sudah menjadi tempat tinggalku selama 20 tahun. Apa yang harus ku katakan saat pulang nanti? Mengumumkan kemenanganku? Jelas mereka tidak ingin mendengarnya. Meminta maaf? Apa ini sebuah kesalahan? Rasanya tidak pantas bagiku untuk menunjukkan wajahku ini di hadapan kedua orangtuaku.

Reynold yang baru saja kembali dari toilet langsung menempati tempat duduk di sampingku, kehadirannya pun membuat pandanganku teralih. Seperti yang kami sepakati sebelumnya, kami hanya akan fokus pada perlombaan kami. Tapi mau bagaimanapun juga, aku tetap tidak dapat melupakan apa yang terjadi malam itu. Apa yang diucapkannya, apa yang dilakukannya dan semua yang terjadi selama kami di Jogja jelas tidak akan mudah untuk dilupakan.

"Ada apa?" tanya Reynold yang sadar bahwa aku sedang menatapnya sedari tadi.

"Ah? Umm gapapa" balasku sambil mengalihkan pandanganku darinya secepat mungkin.

Reynold menyentuh bagian bawah daguku dengan jari telunjuknya dan kembali menghadapkan wajahku ke arahnya, membuat mata kami kembali bertemu dengan satu sama lain.

"Kalau lo begini terus, akan semakin sulit bagi gue melupakan apa yang seharusnya gue lupakan"

Ia melepaskan jemarinya dari daguku dan memasang sabuk pengaman yang terdapat pada tempat duduknya. Aku pun kembali menghadapkan wajahku ke arah yang berlawanan, berusaha menyembunyikan pipiku yang mulai terasa panas.

***

Sesampainya di Jakarta, tubuhku terasa lelah. Rasanya, aku ingin cepat-cepat pulang dan merebahkan tubuhku pada ranjang yang nyaman. Sambil menarik koperku keluar dari gerbang kedatangan, aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang tak terduga.

"Andrew?" ucapku kaget saat melihat Andrew berdiri di depan gerbang kedatangan dengan setelan jasnya.

Ia menghampiriku dan menarikku ke dalam sebuah pelukan.

"Biar aku yang bawain" ucapnya sambil menarik koperku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya meraih tanganku dan membawaku ke tempat parkir. Aku tidak tau mengapa aku menoleh ke arah Reynold yang masih berdiri pada posisinya dengan sebuah ekspresi yang tidak bisa kujelaskan dari wajahnya.

"Kamu.. ngapain ke sini?" tanyaku kepada Andrew yang baru saja masuk ke dalam mobilnya setelah meletakkan koperku di bagasi mobil.

"Jemput pacar aku lah, memangnya salah ya?" balas Andrew sambil menyalakan mesin mobilnya.

"Ya bukannya gitu, aneh aja"

Tentu saja aku merasa aneh, untuk membuat waktu agar dapat makan bersamanya saja sulit apalagi membuatnya meluangkan waktu untuk menjemputku?

"Kamu... disuruh mama ya?" tanyaku dengan sedikit berhati-hati.

Andrew kembali mengarahkan tatapannya ke arahku.

"Mama kamu cuma khawatir"

Aku tersenyum menyeringai. Aku tau aku berharap terlalu tinggi untuk mengharapkan pacarku yang super sibuk ini dapat datang menjemputku atas dasar keinginannya sendiri, ini pasti desakan mama.

"Babe, you need to talk to her" ucap Andrew sambil memasang sabuk pengaman yang terletak di sampingnya.

"Kamu itu sebenarnya pacaran sama siapa sih? aku atau orangtua aku?"

"Kamu kok ngomongnya begitu sih?"

"Coba kamu pikirin sendiri, pernah ga kamu menyempatkan diri untuk dengerin masalah aku langsung dari mulut aku sendiri? Semua itu selalu kamu dengar dari sudut pandang orangtuaku kan?"

Andrew pun terlihat cukup terkejut mendengar nada bicaraku yang lebih tinggi dari biasanya.

"Babe, I'm not in my mood for this okay?" balasnya tanpa senyuman sedikit pun pada wajahnya.

Aku membuang tatapanku darinya dan terus menatap jalanan yang dapat ku lihat dari kaca di sampingku. "I'm not in my mood for this" katanya, hah! Kata yang seharusnya digunakan olehnya adalah "Never" karena ia tidak pernah memiliki mood untuk mendengarkan keluh kesahku.

Setelah perjalanan yang terasa cukup lama itu, akhirnya kami tiba di depan rumahku.

"Titip salam ke papa mama kamu ya, bilang kalau aku ga sempat masuk ke dalam karena ada urusan di perusahaan" ucap Andrew sambil menyerahkan koperku.

"Iya, tenang aja aku bakal sampein ke mereka dan kamu juga ga perlu khawatir karena setelah ini dan seterusnya kamu udah ga perlu buang-buang waktu berharga kamu lagi untuk ke sini" aku menarik gagang koperku dan melangkah darinya.

"M..maksud kamu?" tanya Andrew.

Aku menghentikan langkahku dan kembali menghadapkan tubuhku ke arahnya.

"Aku mau kita putus" ucapku dengan tegas.

"Babe, maksud kamu apa? Kita-" tanpa mendengar ucapannya, aku terus melangkah masuk ke dalam rumahku.

Setelah pintu pagar yang menjadi pembatas antara aku dan Andrew tertutup, tidak sekalipun aku membalik tubuhku untuk menghadapnya.

"Kamu bakal nyesel putus sama aku! Kamu kira orangtua kamu bakal berpihak sama kamu?" teriak Andrew dari luar pagar. Ucapannya pun terhenti akibat suara panggilan telepon yang datang dari handphonenya.

"Halo? Ah iya maaf, saya akan segera ke sana"

Aku bersandar di balik pintu yang kini sudah tertutup rapat. Dengan ditariknya napas panjang, aku melangkah masuk ke dalam rumahku.

"Loh Non, kapan balik?" tanya Bi Isti yang menyambutku dengan sebuah pelukan.

"Baru aja" balasku sambil membalas pelukannya.

"Papa mama belum pulang?" tanyaku kepada Bi Isti yang sedang berdiri di hadapanku.

"Bapak lagi ada acara di Medan dan Ibu baru aja berangkat ke Bandung untuk menghadiri pernikahan anak temannya"

"Oh, bagus deh" balasku sambil tersenyum lega.

"Non pasti cape, kamu istirahat aja ya biar Bi Isti masakin makanan dulu untuk makan malam"

Aku mengangguk pelan dan kembali menarik koperku menuju kamar.

"Oh ya, Bi"

"Ya Non?"

"Di dalam sana ada oleh-oleh buat Bibi, Pak Dedi dan Pak Riswan ya"

"Makasi ya Non" Bi Isti terlihat senang menerima pemberianku itu.

Sambil mengistirahatkan tubuhku pada ranjang yang nyaman, aku memandang langit-langit kamarku. Rasanya lega melepas sesuatu yang sudah menjadi beban pada hatiku selama beberapa saat ini. Tapi... ada satu hal yang masih menjadi tanda tanya pada pikiranku. Apa yang dikatakan Reynold malam itu benar?

DanceMateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang