Step 5.3

164 24 0
                                    

"Gue yang ketuk, lo yang ngomong"

"Ngak! gue yang ketuk, lo yang ngomong"

Sudah hampir 20 menit aku dan Reynold berdiri di depan pintu kamar hotel Coach Evan dan kami masih belum juga selesai menentukan siapa yang akan berbicara dengannya. Sebenarnya tujuannya hanya satu, untuk meminta maaf akibat kesalahan yang kami perbuat kemarin.

"Oke kita gamsuit aja gimana?"

"Oke" balasku setuju.

Saat aku mengeluarkan gunting, Reynold juga mengeluarkan gunting dan saat aku mengeluarkan batu, Reynold juga mengeluarkan yang sama, begitu seterusnya. Sampai akhirnya, Coach Evan membuka pintu kamar hotelnya dan menampakkan dirinya di hadapan kami.

"Kalian ngapain di sini?"

"Umm kita..." aku menyikut Reynold, memberi kode baginya untuk melanjutkan ucapanku.

"Sudah pukul 8, kita harus berangkat sekarang" ucap Coach Evan sambil berjalan ke arah lift. Aku dan Reynold pun berjalan mengikutinya dari belakang sambil bertukar pandang, kami terlewat momen yang pas.

Setelah tiba di lokasi perlombaan, kami berkumpul di dalam sebuah ruang tunggu besar bersama dengan peserta lomba lainnya. Sambil melakukan pemanasan kecil, aku memijat pergelangan kaki kananku yang terasa kurang nyaman sejak semalam.

"Kaki lo kenapa?" tanya Reynold yang sedang memainkan handphonenya di sampingku.

"Ga kenapa-kenapa" balasku.

Reynold meletakkan handphonenya dan berlutut di hadapanku. Tangannya meraih pergelangan kakiku dan memutarnya dengan perlahan.

"Ahh!" teriakku kesakitan sambil berusaha menyingkirkan tangannya dari pergelangan kakiku.

"Kalau ga kenapa-kenapa, ga mungkin lo teriak kayak gitu. Lo sadar kan ini bukan pertama kalinya lo merasa kesakitan di area pergelangan kaki lo?"

"I...ya" balasku sambil memijat pergelangan kakiku dengan pelan.

"Peserta lomba dengan nomor urut 12-20 dimohon untuk bersiap-siap"

Mendengar instruksi itu, aku berusaha untuk berdiri dari tempat dudukku. Meskipun aku sempat sedikit kehilangan keseimbangan, tapi untungnya ada Reynold yang dengan sigap memegang lenganku.

"Gue masih bisa" ucapku kepada Reynold sambil berjalan mendahuluinya.

Setelah tiba di belakang panggung, aku berusaha untuk membuka tirai yang menjadi pembatas antara kami dan ruangan itu. Melalui sebuah cela kecil, aku dapat melihat apa yang terjadi di dalam sana. Bulu tanganku pun berdiri setelah melihat kursi penonton yang sebelumnya kosong kini telah terisi dengan penuh hingga ke sudut-sudut ruangan.

"Mari kita sambut, peserta lomba dengan nomor urut 12, Carissa Leandra dan Reynold Ganendra dari Belle Dance Academy!" mendengar nama kami disebut, aku dan Reynold melangkah ke atas panggung. Suara tepuk tangan pun mengiri langkah kami hingga kami berdiri di tengah panggung.

Sambil menunggu lagu diputar, aku tidak sengaja menatap mata Bu Ira yang sedang duduk pada salah satu kursi penonton. Ia menatapku datar dan tatapannya itu membuaku jauh lebih gugup. Aku mengalihkan tatapanku kepada Reynold yang berdiri berhadapan denganku. Ia memberiku sebuah anggukan dan tepat setelah aku menarik napas panjang, lagu dimulai.

Sepanjang penampilan, pikiranku tidak bisa lepas dari segala rintangan yang ku lalui untuk berada di atas panggung ini. Mulai dari mengecewakan kedua orang tuaku hingga hampir kehilangan sosok partner danceku, semua itu harus ku lewati sebelum akhirnya dapat menapakkan kedua kakiku di atas panggung besar ini.

Sebelum lagu berakhir, aku berdiri di samping panggung dan menyaksikan Reynold yang sedang beraksi di tengah panggung seorang diri. Sambil menahan rasa sakit yang dapat terasa pada pergelangan kakiku, aku mengumpulkan seluruh energi yang tersisa pada tubuhku untuk berlari ke arah Reynold. Amarah, kebohongan, kekecewaan, air mata hingga kesakitan semua itu mengiringi langkahku hingga aku membuat sebuah lompatan besar. Dengan bantuan Reynold, aku berhasil duduk di atas bahunya dan turun dengan melakukan sebuah backflip untuk mengakhiri penampilan kami.

Suara tepuk tangan kembali terdengar pada telingaku. Ada perasaan lega yang terdapat pada hatiku sambil berjalan turun dari panggung. Kini, tersisa pengumuman yang akan menentukan langkah selanjutnya dari perjalanan ini.

Sambil mengistirahatkan kakiku yang terasa lebih menyakitkan bahkan setelah aku duduk, aku dan Reynold sama-sama menunggu kurang lebih 2 jam. Hingga akhirnya tiba waktunya untuk mendengar pengumuman.

"Rey, kalau nama kita ga disebut gimana?" tanyaku sambil berjalan kembali ke panggung bersama Reynold di sampingku.

"Mungkin itu tandanya ada jalan lain yang sudah disiapkan untuk kita"

Aku menundukkan kepalaku dengan sejumlah rasa cemas sekaligus gugup yang menumpuk di dalam hatiku.

"Hey, kalau satu pintu tertutup itu tandanya ada pintu lain yang sudah terbuka. Kalau perjalanan kita berakhir di sini, bukan berarti hidup kita juga berakhir"

Aku menanggapi ucapan Reynold dengan sebuah anggukan, ia  merangkul bahuku hingga kami naik ke atas panggung. Di atas panggung sudah terkumpul seluruh kontestan yang mungkin juga memiliki perasaan yang sama denganku.

"Semua orang pasti menginginkan posisi ini tapi sayangnya, hanya ada satu yang terpilih untuk berangkat ke Los Angeles, California" ucap seorang pria yang menjadi pembawa acara tersebut.

Tahun lalu, hanya ada dua peserta yang terpilih untuk mewakili Indonesia ke tahap Internasional dan kini, hanya ada satu yang terpilih. Semakin kecil angkanya maka semakin kecil juga harapanku. Sambil membuka amplop yang sudah diisi dengan nama peserta yang akan maju ke tahap berikutnya yaitu tahap internasional, musik yang membuat situasi lebih menegangkan mulai diputar.

Aku memejamkan kedua mataku sambil berdoa di dalam hatiku. Rangkulan tangan Reynold yang terdapat pada bahuku pun terasa semakin erat.

"Carissa Leandra dan Reynold Ganendra!"

Aku membuka kedua mataku dengan perasaan penuh terkejut, Reynold yang berdiri di sampingku pun sudah melompat dengan penuh kesenangan. Dengan perasaan yang masih tidak percaya, aku dan Reynold melangkah ke tengah panggung untuk menerima medali itu. Reynold menunjuk Coach Evan yang sedang duduk pada salah satu kursi penonton kepadaku. Kami pun mengangkat medali kami dan menunjukannya kepada Coach Evan. Dengan sebuah senyuman lebar pada wajahnya, Coach Evan mengangkat kedua jempolnya kepada kami.

***

"Medalinya ga akan kabur dari kalian kok" ucap Coach Evan yang membuat pandanganku dan Reynold sama-sama teralihkan kepadanya.

Kami pun sama-sama tertawa, pandangan kami memang tidak bisa lepas dari medali emas itu sebelumnya. Ada suatu kebanggaan serta perasaan penuh antisipasi dari dalam diriku dengan bayangan bahwa aku akan lanjut ke jenjang internasional setelah ini.

"Sudah malam, kalian istirahat ya. Ingat besok kita mengambil penerbangan pagi jadi pastikan kalian sudah berada di lobby hotel pukul 7, oke?"

Aku dan Reynold mengangguk. Setelah Coach Evan membalik tubuhnya, aku dan Reynold pun saling bertukar pandang.

"Coach"

"Ada yang ingin kami sampaikan" lanjutku setelah Coach Evan kembali menghadapkan tubuhnya ke arah kami.

"Kami... ingin minta maaf" ucap Reynold.

Coach Evan tersenyum tipis sambil menundukkan kepalanya.

"Tidak ada alasan bagi kalian untuk mengucapkan hal itu kepada saya, seharusnya kalian minta maaf ke diri kalian masing-masing karena sudah membuat pikiran dan hati kalian sama-sama terbebani akibat hal itu" ucap Coach Evan sebelum kembali berjalan ke arah lift.

DanceMateWhere stories live. Discover now