41. The Reason Why

48.2K 6.4K 475
                                    

Sona lelah. Dia sangat lelah. Tanpa semangat, dia mengangkat sendok berisi makanan ke mulutnya, mengunyahnya dan menghela napas berkali-kali. Rasa lezat masakan koki istana terbaik yang biasanya dia rasakan kini malah menjadi hambar.

Itu karena semua mata menatapnya. Arjen, Genta dan Hero tak menyentuh makanan mereka sama sekali dan hanya menatapnya dengan senyuman bodoh mereka.

"Berhenti menatapku, kalian juga harus makan." Gerutunya kesal.

Ini baru dua hari sejak mereka menyergapnya saat berada di penginapan kecil kerajaan Isla. Tapi sejak Sona kembali, mereka terus-terusan memperhatikannya secara berlebihan. Tiap kali makan atau melakukan hal apa pun, ketiga orang itu hanya menatapnya kosong sambil tersenyum kecil, terkadang saat Sona tiba-tiba menghilang dari pandangan mereka beberapa saat mereka menjadi panik dan heboh sehingga membuat para pelayan dan penjaga istana kewalahan.

"Wajahmu sangat kurus, makan yang banyak." Genta membalasnya dengan gerutuan juga.

Sona meliriknya sekilas lalu mengangguk lemah. "Aku tidak ingin makan sendiri, jadi tolong berhenti memperhatikanku dan ikut makan." Katanya memohon yang pada akhirnya dilakukan oleh ketiga orang itu.

Tanpa sepatah kata pun Arjen mendorong sepiring kecil puding cokelat ke arah putrinya sebelum makan.

Sona meringis mengingat kejadian dua hari yang lalu. Pantas saja dia bisa menemukan puding cokelat di penginapan sederhana itu. Itu semua adalah ide Arjen jika dilihat dari gelagatnya.

Dasar gila. Sebenarnya Sona tak menyangka mereka mampu menemukan keberadaannya. Itu salahnya juga, Sona ceroboh karena terburu-buru lari mengejar kereta kuda untuk menuju Barat dari daerah Selatan saat itu. Rupanya Genta telah mengirim mata-matanya untuk menjadi di perbatasan ke arah Barat, dan Sona dengan mudahnya telah terdeteksi dalam rentang waktu tak lama setelah dia menemukan petunjuk dalam bentuk lukisan dengan tanda tangan unik Sona di desa Yort, Zuran.

Setelah melewati makan malam yang panjang, Sona kembali kekamarnya. Tentu saja mereka bertiga tak akan membiarkannya pergi sendiri. Mereka mengikutinya hingga ke depan pintu kamarnya.

Dan lagi, kamar Sona yang sekarang jauh lebih besar dari yang dulu. Arjen telah melarangnya untuk masuk kekamar lamanya karena telah sempat dipakai oleh Irene sebelumnya. Dia takut kalau-kalau Irene atau Alphen memasang jebakan tersembunyi di dalam ruangan itu.

"Selamat malam." Ucap Sona pada ketiganya lalu menutup pintu kamarnya dengan lega. Akhirnya dia bebas dari tatapan mereka. Itu melelahkan karena setiap saat mereka mengawasinya. Sona tahu mereka bersikap berlebihan seperti ini karena takut kalau dia akan pergi lagi.

Sona berbaring lama sekali dikasurnya, tapi nyatanya dia tidak bisa tidur meski dia lelah. Mata tetap terjaga hingga akhirnya dia bangun dan menyelinap keluar melalui jendela kamarnya.

"Kurasa aku butuh udara segar. Mungkin seteah itu aku bisa tidur." Katanya memutuskan diam-diam pergi dari kamarnya menuju taman istana.

Sona menuju bangku taman dan bersandar disana seraya tersenyum menengadah ke langit, dia bisa melihat bulan terang benderang di atas kepalanya. Dia jadi teringat...

Sona awalnya menganggap dunia itu hanya dunia novel yang mengikuti alur cerita, bukan kenyataan. Tapi itu tidak penting lagi. Nyatanya sekarang dia hidup di dunia ini. Itu sudah cukup baginya.

Tanpa sadar dia kembali memikirkan saat pertama kali dirinya menjadi Sona enam tahun yang lalu. Dia masih ingat betapa paniknya dia saat itu, dan juga dia ingat tujuannya dulu.

Menghindari ayah serta kedua pangeran. Lalu kabur dari istana berharap menjadi orang biasa, menikah dengan orang biasa, dan hiduo sederhana dengan keluarganya. Jika dipikir-pikir lagi, itu sangat mudah ketika diucapkan. Tapi pada kenyataannya itu semua gagal. Semua meleset dari perkiraannya dan membawanya ke dalam situasi yang sangat tak dia bayangkan.

Bad Princess (END)Where stories live. Discover now