1. Di Sudut Perpustakaan

374 56 117
                                    

Carissa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Carissa


Gadis yang duduk sendiri di meja terujung itu aku. Duduk sendirian di meja berkapasitas enam orang di salah satu sudut perpusta­kaan sambil mengerjakan tugas. Sudah dua bulan ini aku terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Sastra Jurusan Diploma 3 Ba­hasa Inggris sebuah universitas swasta ter­kenal di Bandung. Dan boleh percaya atau tidak, selama dua bulan ini aku belum mempunyai teman.

Bukannya tak ada yang mau berteman denganku, tapi aku yang menjaga jarak dengan mereka. Si Tersisih, itulah julu­kanku yang kudapat ketika aku masih du­duk di kelas 1 SMA di kota asalku, Sema­rang.

Aku memang punya trauma yang mem­buatku mendapatkan julukan itu. Tak per­lulah kuceritakan apa yang menjadi trau­maku itu. Aku bahkan tak ingin mengingat­nya. Dan karena trauma itu aku memu­tuskan untuk merantau jauh-jauh dari sana. Aku berharap bisa melupakan semua serta orang-orang yang menyebabkannya.

Mulanya orang tuaku agak khawatir ke­tika anak bungsunya memutuskan untuk tinggal sendiri dan jauh dari mereka. Me­reka tak habis pikir kenapa aku memilih Kota Bandung sementara aku bisa tinggal bersama kakak perempuanku, Mbak Sarah, yang bekerja di Jakarta kalau alasanku hanya ingin menjauh dari kota kelahiranku. Aku bahkan menolak permintaan mereka untuk tinggal bersama Bude¹-ku yang juga tinggal di kota ini. Tinggal dengan kera­batku mungkin bisa membangkitkan ke­nangan trauma itu, begitu alasanku ketika berdebat dengan orang tuaku. Akhirnya mereka melepasku dengan syarat, setiap dua hari sekali aku harus mengabari kea­daanku pada mereka.

Begitulah ceritanya bagaimana aku bisa bersatu bersama para anak rantau lainnya di sebuah rumah kos yang hanya berjarak beberapa meter saja dari kampus. Posisinya di pinggir jalan dan tarifnya memang sedi­kit mahal. Namun untuk yang satu ini, aku agak rewel. Aku ingin tempat tinggal se­mentaraku ini tak berbagi dengan kaum le­laki dan punya fasilitas kamar mandi pri­badi sehingga aku tak perlu antre dengan penghuni lainnya di mana nantinya aku terpaksa harus berinteraksi dengan me­reka.

Lalu kenapa aku memilih Jurusan Bahasa Inggris? Jawabannya sederhana, karena aku lemah dalam bidang matematika. Alasan kedua adalah karena aku suka anak kecil. Suatu saat aku ingin sekali bisa menulis buku anak-anak berbahasa Inggris. Mung­kin kegemaran menulisku menurun dari Ibu yang mantan jurnalis sebuah harian lokal. Dan keahlian mendongeng itu kuperoleh karena seringnya mendongeng untuk keponakan kembarku yang masih balita, anak dari kakak sulungku, Mas Panji.

Aku menekuk punggungku ke belakang, menjeda pekerjaanku sejenak. Rasa pegal yang kudapat setelah berjam-jam mem­bungkuk dan menulis cukup terobati dengan lurusnya kembali barisan tulang pung­gungku. Saat itu pula mataku menangkap seorang pemuda yang juga selalu duduk di tempat yang sama selama beberapa minggu ini. Setiap kali mataku terarah padanya, ia juga sedang mengarahkan pandangannya padaku. Dan detik berikutnya ia tergesa menunduk, pura-pura kembali menghadapi bukunya.

Selama ini aku hanya menganggapnya sebagai sesama mahasiswa yang butuh ketenangan di perpustakaan, sama seperti aku. Lagi pula ia tak pernah mengganggu sehingga aku tak perlu protes pada keberadaannya.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang