47. Kesempatan Terakhir

72 16 66
                                    

Carissa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Carissa

Tepat pukul enam pagi, Pak Rohman mengetuk pintu rumahku. Mulanya kukira aku akan berkendara bersama mama. Namun ternyata di dalam mobil minivan itu aku hanya sendiri.

Lelaki berusia tiga puluhan itu mengemudikan mobilnya jauh ke arah Utara dan tampaknya kami tak akan tiba dalam waktu dekat. Perjalanan kami terus menanjak dan berkelok-kelok seperti menuju daerah pegunungan.

Ketika kendaraan yang kami tumpangi ini berbelok menuju jalan yang lebih kecil, kukira perjalanan ini akan segera berakhir. Namun Pak Rohman belum menunjukkan gelagat untuk memperlambat laju mobilnya. Kami pun kembali melintasi jalan menanjak dan berkelok, melewati rumah-rumah penduduk dan perkebunan di sisi kiri dan kanan jalan.

"Kita ke mana, Pak?" tanyaku setelah hampir satu jam perjalanan.

"Ke Parongpong, Mbak, ke vilanya Pak Wisnu. Ibu sudah menginap di sana sejak kemarin karena siang ini ada pertemuan dengan teman-temannya," beber Pak Rohman panjang.

"Oh," aku menyahut singkat, meski nama daerah itu baru kali ini menyapa telingaku.

Dalam sisa perjalanan itu, aku tak bersuara lagi hingga kami melintasi sebuah gerbang kompleks perumahan. Pemandangan yang kulihat pun tampak berbeda. Aku tak lagi melihat rumah-rumah sederhana dan perkebunan, melainkan kompleks pemukiman mewah dengan deretan rumah-rumah besar dan indah dengan berbagai desain. Roda minivan ini pun tak lagi bergulir di atas aspal dan jalan tanah, melainkan paving block.

Sopir keluarga Om Wisnu ini masih membelokkan mobilnya beberapa kali sebelum akhirnya berhenti di sebuah rumah besar yang terletak di perbatasan kompleks.

"Langsung aja ke halaman belakang, Mbak. Ibu menunggu di sana," ujar Pak Rohman saat membukakan pintuku.

"Makasih ya, Pak," ucapku.

Sesuai instruksi Pak Rohman, aku langsung menuju halaman belakang dengan menyusuri jalan setapak berbatu di samping rumah. Jalan setapak itu cukup panjang, sepanjang bangunan vila berdesain minimalis yang membuatku takjub ini.

Namun berakhirnya bangunan itu tak dibarengi dengan berakhirnya rasa takjubku. Halaman belakangnya memang tak seberapa luas, tapi berbatasan langsung dengan lembah dan panorama kota Bandung di kejauhan. Meskipun saat itu tampak sedikit berkabut, aku bisa membayangkan bagaimana pemandangannya di malam hari.

Ada satu meja lipat dari kayu yang dilengkapi dengan sepasang bangku panjang di halaman belakang ini. Mama Stella terlihat duduk di sana sambil membaca majalah dengan ditemani secangkir teh.

"Pagi, Ma," sapaku.

Wanita itu mendongak dan segera kuhampiri dia dan seperti biasa kuberi kecupan di punggung tangannya.

"Sampai juga akhirnya," ujar mama dengan senyumnya. "Duduk, Ris," suruhnya seraya menunjuk tempat di hadapannya.

"Ini vila Papanya Anesh. Siang nanti Mama ada pertemuan dengan teman-teman. Makanya semalam Mama nginap di sini," ungkapnya kemudian, persis seperti yang sudah Pak Rohman katakan padaku. "Sudah lapar?"

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Where stories live. Discover now