42. Hadiah Pernikahan

57 15 49
                                    

Carissa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Carissa

Hari pernikahan kami kurang dari dua bulan lagi. Hampir semua keperluan sudah dilengkapi, kecuali pakaian pengantin dan seragam keluarga yang masih perlu dipas, undangan yang menunggu selesai dicetak serta suvenir.

Sebenarnya setelah pengambilan foto pranikah yang berlangsung di daerah Bandung Selatan, tak ada yang bisa kulakukan lagi di kota ini sehingga seharusnya aku bisa kembali ke Semarang untuk mempersiapkan acara di sana. Apalagi aku sudah tidak menghuni tempat kos itu lagi. Namun Anesh memintaku tetap tinggal, setidaknya hingga beberapa minggu sebelum pernikahan. Katanya, ada yang ingin ia perlihatkan padaku. Aku pun terpaksa mengalah dan akhirnya menerima saran Ibu untuk tinggal di rumah Bude.

Sesuai janjinya, setelah makan siang di sebuah restoran, ia membawaku ke suatu tempat. Namun ketika mobil yang kami kendarai memasuki kompleks perumahannya, mulanya kukira ia akan membawaku ke rumahnya, hingga kusadari kami tak berbelok ke sana, melainkan terus melaju hingga beberapa kelokan berikutnya.

Anesh membelokkan mobilnya memasuki carport sebuah rumah tak berpagar tapi mempunyai pos satpam. Entah rumah siapa ini hingga ia bisa langsung memarkirkan mobilnya di lahannya tanpa permisi. Pada satpam itu pun ia sempat melambai, pertanda mereka saling mengenal. Namun kenapa rumah semungil ini masih perlu penjagaan satpam?

Masih didera kebingungan, aku mulai memperhatikan rumah berlantai dua di hadapanku ini. Fasadnya yang berupa gabungan dua bentuk geometris, kubus dan prisma, dicat kombinasi biru tua--warna favorit Anesh--dan kelabu terang dengan aksen kayu serta berdesain minimalis. Tak semegah rumah Anesh sebenarnya, tapi tetap mewah menurutku. Dan juga masih terlihat baru.

"Yuk, turun," ajak Anesh seraya mendorong pintunya.

Aku mengikuti jejaknya lalu hanya berdiri diam di samping mobil sambil tak henti mengagumi rumah itu, mulai dari halamannya yang tak seberapa luas dan hanya ditumbuhi rumput jepang. Lalu terasnya yang juga sempit tapi sanggup memuat satu set meja dan dua kursi dari kayu. Sementara untuk memisahkan area teras dengan halaman dipartisi oleh banjaran papan vertikal yang juga berfungsi untuk membatasi penglihatan dari luar ke dalam, bila pintu utama dibuka.

"Ini rumah siapa?" tanyaku begitu Anesh berdiri di sampingku dengan melingkarkan lengannya di pinggangku.

"Sekarang rumah ini masih atas nama Papa. Tapi setelah kita menikah nanti, sertifikatnya akan diganti menjadi namamu," paparnya.

Dengan gerakan cepat aku memutar kepalaku ke arahnya. Sepasang alisku pun terangkat. Namun tak ada kata-kata yang mampu kuungkap.

Membalas tatapanku, Anesh mengangguk meyakinkan. "Kita akan tinggal di sini setelah menikah nanti," katanya. "Gimana? Suka?"

Aku menggeleng, membuat senyum di wajah Anesh terhapus perlahan. Sinar matanya pun menyorot kecewa. Namun buru-buru kujelaskan, "Maksudnya, aku gak tahu harus bilang apa."

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Where stories live. Discover now