11. Maaf Bersyarat

96 24 68
                                    

Carissa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Carissa

Seandainya Mbak Sasha tak punya janji bertemu dengan temannya, mungkin hari ini akan kujalani seperti biasa. Mungkin perjalananku dari tempat kos ke kampus akan tetap kulalui dalam diam dan aku akan tetap melihat trotoar yang kutapaki dan ujung sepatuku. Namun kali ini selain bisa melihat wajah lawan bicaraku, aku juga bisa melihat lingkungan di sekitar kampus. Tawa kami sesekali juga berderai meningkahi suara kendaraan di jalan.

"Rissa!"

Beberapa meter setelah melintasi Gerbang 4--gerbang terakhir kampus kami--langkah kami dipaksa berhenti oleh panggilan itu. Kepala kami pun sama-sama berputar ke arah datangnya suara.

Tak jauh di depan kami, Anesh bergegas menuruni undak-undakan Gedung Administrasi Pusat. Astaga. Tampaknya lelaki ini belum berhenti berusaha mengambil hatiku. Ingin rasanya aku berlari menjauh. Namun lilitan lengan Mbak Sasha di lenganku tak membiarkanku pergi.

Di telingaku, ia berbisik, "Ingat. Masa percobaan." Lalu setelah melonggarkan lilitan lengannya, ia beralih pada Anesh.

"Hai, Nesh," sapanya.

"Hai," balas Anesh sambil melambai.

"Dah, Rissa," pamit Mbak Sasha yang bagiku lebih terdengar seperti olok-olok.

Mengingat perbuatan Anesh beberapa hari yang lalu, perasaan cintanya tak serta merta meluluhkan hatiku. Lelaki tengil dan tak peka seperti ini benar-benar bukan tipeku. Satu-satunya alasan aku mau berdiri di sini dan menghadapinya hanya karena Keenan dan paksaan Mbak Sasha.

"Hai, Ris," Anesh menyapa sambil tersenyum canggung.

Aku membalasnya dengan mengayunkan daguku.

"Ada kuliah?"

"Kalau gak ada, aku gak akan ke sini."

Anesh terkekeh. "Sorry. Gue ...."

Gue. Lo. Begitukah menyebut dirimu di depan orang yang kamu sukai?

"Ada yang mau diomongin? Kalau enggak, aku mau ke kelas," ketusku saat ia tak bisa meneruskan kalimatnya.

"Ada .... Itu ...," cegahnya sebelum aku sempat berbalik. "Keenan titip pesan, diktatnya lo simpan dulu aja ...."

"Keenan gak perlu titip pesan sama kamu. Dia punya nomor hapeku," ketusku lagi. Aku tahu dia bohong. Dia hanya mencari alasan untuk bicara denganku. "Ada lagi?"

Bukannya menjawab, Anesh malah menggaruk tengkuknya. Rautnya masih terlihat canggung.

"Oke. Aku mau ke kelas," pamitku seraya memutar tubuh, bersiap meninggalkannya.

"Sesulit itukah lo maafin gue, Ris?"

Langkahku terhenti dan kembali berbalik.

"Gue harus gimana lagi supaya lo mau maafin gue?" Saat itu ekspresi Anesh terlihat putus asa. Sesuatu yang tak pernah aku lihat sebelumnya.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Where stories live. Discover now