31. Perjanjian

70 18 57
                                    

Carissa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Carissa

Pukul tujuh pagi. Aku belum bergerak dari baringku. Dalam benakku masih bergumul pertengkaranku dengan Anesh semalam. Setelah berbulan-bulan menyandang status pacar, ini pertama kalinya aku bertengkar hebat dengannya. Apa salahnya tak berterus terang demi menjaga perasaannya? Bukannya lebih baik aku yang menyingkir daripada membuatnya malu di depan teman-temannya? Sungguh, aku tak mengerti dengan jalan pikirannya.

Pergulatan di kepalaku terputus oleh suara dering singkat ponselku yang kuletakkan di meja belajar. Separuh enggan separuh penasaran, aku beranjak ke sana. Dan nama si pengirim pesan membuatku berdecak. Kenapa harus dia yang bila kuingat namanya saja cukup membuatku sebal? Namun aku membaca pesannya juga.

'Kusesali kalimat yang tertutur
Kusesali maaf yang tak terucap
Tiada kuingin hatimu luka
Tiada kuharap air matamu setitik
Karena tanpamu aku tersesat'

Aku melepaskan desah kasar dan kuletakkan kembali ponselku tanpa membalas. Oke, dia menyesal. Hanya saja suasana hatiku belum mengizinkanku untuk menerima penyesalannya. Dan bila kupaksakan, mungkin kami akan kembali bertengkar.

Namun belum selangkah aku menjauhi meja, ponsel itu berdering lagi. Sebuah pesan kembali kuterima dari pengirim yang sama.

'Let's make it up¹. Aku tunggu di depan.'

Jadi sejak mengirim pesan pertama ia sudah berada di depan tempat kosku? Boleh juga usahanya. Namun aku tak akan menemuinya. Aku bahkan membatalkan niatku untuk menyarap di luar. Seandainya kemarin Mbak Sasha tak langsung pulang ke Garut dan masih menjadi penghuni kos ini, mungkin aku akan minta tolong untuk dibelikan sarapan.

Baiklah, aku akan menunggu selama satu atau dua jam hingga ia bosan dan akhirnya memilih pergi. Bila terpaksa, aku akan makan biskuit yang sengaja kusimpan sebagai penawar lapar. Namun baru tiga puluh menit, ia sudah mengirim pesan lagi.

'Aku gak akan pergi sebelum kita bicara.'

Astaga. Berapa lama aku harus bersembunyi?

Kucoba menghabiskan waktu dengan membersihkan kamar dan mencuci pakaian yang biasanya kubawa ke kios laundry kiloan. Kuharap, kesibukanku bisa membuatku melupakan rasa lapar dan membuat Anesh putus asa.

Kesibukanku pagi itu terbukti benar-benar membuat lupa waktu. Musik yang kuputar pada ponsel juga sudah berulang lebih dari dua putaran. Pakaian yang kubasuh sudah terbilas semua, tinggal kubawa naik ke atap dan kugantung di jemuran yang berada di sana. Namun ketukan di pintu menyela pekerjaanku sekejap.

Kusempatkan melirik jam kecil di meja belajar. Pukul sembilan lewat. Dan aku merasa ulu hatiku seperti dipuntir.

Saat pintu terkuak, tampak Pak Tatang berdiri di depanku sambil membawa bungkusan berwarna cokelat dalam kantong keresek transparan.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Where stories live. Discover now