51. Isi Hati

79 18 52
                                    

Keenan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Keenan

Setelah tiga rest area tersinggahi dan ditinggal tidur Carissa selama satu jam di jalan bebas hambatan sepanjang lebih dari 400 km, akhirnya kami tiba di tujuan satu jam saja sebelum matahari terbenam. Dan baru saja kami melintasi pagar, pintu utama rumah itu terkuak, diiringi kemunculan seorang wanita paruh baya yang wajahnya, menurutku, begitu mirip dengan gadis yang melangkah di sisiku ini.

"Lho, Nduk, kok sudah datang? Gak bilang-bilang lagi. Katanya baru mau pulang dua minggu lagi?" sambutnya dengan air muka kombinasi semringah dan bingung.

Carissa tak menyahut. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam untuk menghindarkan penglihatan sang bunda dari memar di pipinya.

Namun tampaknya wanita itu terlalu jeli hingga Carissa tak bisa mengelak lagi. Semringah di rautnya pun lenyap, menyisakan kebingungan. "Pipimu kenapa, Nduk? Kenapa kamu datang sama Keenan, bukan sama Anesh?"

Lagi-lagi Carissa tak memberikan jawaban. Ia malah menjatuhkan diri dalam pelukan ibunya. "Ibu ...," rintihnya.

"Ada apa, Ris?" tanya wanita itu lagi. Namun tanpa menunggu jawaban, ia menujukan pertanyaan yang sama padaku. "Rissa kenapa, Keen?"

"Biar Carissa yang jelaskan sendiri, Tante," sahutku.

Tante Naniek membimbing putri bungsunya memasuki rumah dan aku mengekori mereka, langsung menuju teras belakang, di mana ayah Carissa tengah menikmati teh sore serta rengginang. Reaksi pria itu pun sama dengan istrinya saat melihat Carissa datang tanpa pemberitahuan serta dengan luka lebam di pipi kirinya. Dan Carissa, alih-alih menjawab, malah menceruk di bawah dagu sang ayah.

Setelah dihidangkan teh oleh Bu Siti, gadis itu baru memulai kisahnya. Bermula dari Anesh yang mendapat telepon dari agen naskahnya dan 'melarikan diri' ke minuman karena dihadapkan pada dua pilihan yang sulit, hingga jejak perbincanganku dengan Carissa di aplikasi percakapan yang membuat Anesh meradang.

Namun kini giliranku yang meradang saat mendengar tentang perbuatan Anesh setelahnya, mencampakkan ponsel Carissa hingga retak, mendorong gadis itu dengan kasar hingga membentur pintu kulkas--yang akhirnya menjawab rasa penasaranku tentang luka memar itu, lalu berakhir dengan menguncinya di kamar mandi. Aku menyesal, kenapa sebelum berangkat tadi tak kuhadiahi ia tinju di wajah.

Kuperhatikan raut Om Kemal dan Tante Naniek bergantian selagi putri mereka bercerita. Ayah Carissa yang berwatak tenang tampak tak menunjukkan tanggapan apa pun, tapi dari rahangnya yang mengetat, aku tahu ia geram. Hanya saja ia enggan menunjukkannya di hadapan sang putri. Sementara istrinya sesekali terlihat meletakkan tangannya di dada dan napasnya kadang memburu, membuat pundaknya naik turun melebihi kecepatan normal.

"Syukurlah, kamu berhasil keluar, Nduk. Bapak bangga akhirnya kamu berani melawan dan mengatasi traumamu," pria paruh baya itu bersuara di akhir cerita Carissa. Tangannya yang mulai dipenuhi kerut usia itu menepuk-nepuk lutut putrinya. "Terus, kamu mau Bapak apakan mantanmu itu? Mau Bapak tuntut atau bagaimana?"

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Where stories live. Discover now