48. Toksik

63 17 59
                                    

Carissa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Carissa

Saat melihat mobil Anesh terparkir di carport, ingin rasanya aku menyuruh Pak Rohman untuk kembali mengemudikan kendaraannya menjauh. Perih itu masih terasa bila mengingat perbuatannya kemarin. Namun aku tahu, Pak Rohman dibutuhkan di tempat lain dan aku tak bisa menahannya lebih lama hingga aku terpaksa meninggalkan minivan itu.

Aku pun tak memasuki rumah melalui pintu utama, melainkan lewat pintu garasi setelah menyapa singkat Pak Muis--yang memulai sifnya pada pukul enam pagi. Setidaknya dengan begitu aku bisa menghindari Anesh walau sejenak.

Bi Saodah yang baru keluar dari kamar mandi sedikit terhenyak ketika melihatku masuk dengan diam-diam dan tanpa permisi. Buru-buru kuletakkan telunjuk di depan bibirku yang kukerucutkan.

"Bapak sudah lama datang?" tanyaku dengan suara pelan.

"Lumayan, Bu. Sambil bawa sarapan. Katanya mau sarapan sama Ibu," balas Bi Saodah, juga dengan suara pelan. Sementara telunjuknya mengarah pada meja makan, di mana diletakkan satu kantong kertas berlogo salah satu restoran burger waralaba.

"Oh. Ya sudah." Aku mengedikkan dagu, meminta perempuan paruh baya itu meneruskan pekerjaannya. Sementara langkahku juga berlanjut menuju ruang duduk.

Namun ayunan kedua tungkaiku segera tersekat begitu mendapati Anesh duduk di sofa sambil mengetik pada laptop yang ia letakkan di pangkuannya. Untuk berbalik pun tampaknya sudah terlambat. Keberadaanku telanjur menarik perhatiannya.

"Sudah pulang, Ris?" Anesh meninggalkan laptopnya lalu berdiri dan mendekatiku.

Jangan mundur, Rissa. Hadapi.

Dan meski gentar, aku diam di tempat. Menunggu.

Anesh tak juga melambatkan laju langkahnya hingga ia bisa membawaku dalam dekapannya. "Maaf," bisiknya. "Aku gak tahu apa yang kulakukan kemarin."

Aku diam dalam pelukannya. Membalas pun tidak.

"Mama sudah cerita, bukan kamu yang mengadu," lanjut pemuda itu.

Mataku terpejam. Ya Tuhan, apa aku masih sanggup memberinya maaf?

"Tadi aku menemui mama," aku bersuara.

Anesh menarik dirinya sedikit menjauh dariku, tapi lengannya belum meninggalkan pinggangku. Maniknya menatapku lekat, memintaku meneruskan dengan isyaratnya.

Menghindari matanya, kulanjutkan kisahku, "Aku hampir membatalkan rencana pernikahan kita. Tapi mama minta aku untuk kasih kamu satu kesempatan lagi." Kini kunaikkan mataku, kuberanikan mengancam sepasang tatapan tajam itu. "Satu kesempatan lagi, Nesh. Atau pernikahan kita batal."

Anesh mengangguk mengerti. "Aku janji kamu gak akan kecewa, Ris."

Kepalaku bergeleng. "Buktikan aja. Jangan berjanji."

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang