25. Menunggu

62 19 53
                                    

Carissa

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

Carissa

Kukira dengan pergi diam-diam, Anesh tak akan bisa mengejarku dan aku tak perlu menjawabnya. Ternyata aku sudah meremehkan kemampuannya. Dan entah apa yang ia katakan pada Mbak Sasha hingga teman satu kosku itu dengan sukarela mau memberikan alamatku padanya.

Namun aku harus mengakui kegigihan Anesh. Keenan benar, sahabatnya ini tak mudah menyerah dan ia benar-benar tak berpaling. Ditambah pengorbanannya dengan mengejarku ke kampung halaman, kini aku yakin pada perasaannya. Ia memang menginginkanku. Lalu kenapa aku masih enggan mengakui bahwa aku juga menginginkannya? Kenapa aku masih ingin berlari darinya?

Beberapa kali aku mencoba menghindar. Aku tak ingin berdua saja dengannya di tempat yang sama, meskipun aku tahu suatu saat aku harus menyerah. Lagi pula Bapak dan Ibu tampaknya sudah menerima kehadirannya. Bahkan ketika makan malam mereka seolah melupakan aku dan lebih mengistimewakan Anesh. Ia pun mendapat porsi mangut lebih banyak daripada aku. Padahal itu 'kan makanan favoritku.

Aku berusaha menahan senyum melihat ekspresinya saat pertama kali mencoba makanan itu. Ia langsung mengernyit saat baru menyuapkan daging ikan pari itu dalam mulut. Persis seperti yang terjadi padaku saat pertama kali mencobanya. Daging ikan pari yang lembut memang mempunyai sensasi sengatan di lidah yang membuat penikmatnya seperti tersetrum listrik beraliran rendah.

Obrolan orang tuaku dengan pemuda itu masih berlanjut seusai makan malam. Mereka berpindah tempat ke ruang duduk, sementara aku membersihkan meja dan membawa piring-piring kotor ke dapur bersama Bu Siti. Dan aku memilih untuk membantunya mencuci piring ketimbang berdekatan dengan Anesh.

"Tamunya kok gak ditemani, Mbak?" tanya perempuan itu sambil mengelapi piring yang baru kubasuh.

"Bu, kalau tamu itu datangnya diundang. Tapi aku gak ngundang dia, jadi ngapain aku temani?" dalihku.

Bu Siti terkekeh. "Tapi kelihatannya dia minta ditemani, Mbak."

"Maksudnya?" Kutolehkan kepalaku ke arahnya. Melihat wajahnya yang menunjukkan raut menggoda sungguh menggugah kecurigaanku.

"Tuh." Dagu Bu Siti mengarah ambang pintu dapur, memaksaku ikut berpaling ke arah yang ditunjuknya. Dan Anesh berdiri di sana dengan senyum terkulum.

Tamat sudah perjuanganku. Aku tak bisa lagi menghindar.

"Bu Siti tinggal dulu ya, Mbak," pamitnya yang membuatku semakin membenci situasi itu.

Sepeninggalnya, laki-laki itu mendekat dan berdiri di sampingku, mengambil alih tugas Bu Siti mengelap piring.

"Gak usah cemberut. Aku memang ingin ditemani, kok," mulainya.

"Siapa yang cemberut?" elakku dengan bersungut.

"Itu." Telunjuk Anesh diarahkan pada bibirku yang mengerucut. Kekehnya terdengar kemudian.

"Ngapain sih ke sini? Temani Bapak Ibuku aja sana," suruhku ketus. Dan jelas, itu tak sesuai kata hatiku.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon