50. Usai

79 19 84
                                    

Carissa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Carissa

Ini bukan lemari sapu. Aku pasti baik-baik saja.

Ini bukan lemari sapu. Aku pasti bisa keluar dari sini.

Kupejamkan mataku erat-erat dan kurapalkan mantra itu berulang-ulang. Bahkan saat kening dan pelipisku mulai dialiri peluh, aku tak berhenti merapal.

"Lo memang pantas di lemari sapu!"

"Dia gak pantas buat lo!"

Aku menangkup kedua telingaku demi menghalau suara-suara penuh kebencian itu. "Tidaaaak!" aku memekik.

Suara-suara itu seketika lenyap. Kini hanya hening yang kudengar.

Kuberanikan membuka mataku dan segera kuembuskan napas lega. Aku memang tidak sedang berada di suatu tempat yang sempit dan gelap, tapi ruangan yang lebih luas daripada lemari sapu dan terang. Hanya saja, dingin.

Peristiwa beberapa menit yang lalu pun kembali mengisi benakku. Bukan gadis-gadis itu yang mengurungku, melainkan Anesh. Dan apa aku harus menunggunya kembali supaya bisa keluar dari sini?

Tampaknya tidak.

Aku mendengar suara kunci yang diputar dengan terburu-buru. Anesh-kah itu? Dia sudah kembali? Secepat ini?

Perlahan, aku bangkit sambil menumpukan beratku pada daun pintu.

Pintu itu terbuka dengan cepat, seperti didorong dengan buru-buru, disusul sosok Bi Saodah serta Pak Muis dari baliknya. Senyumku pun mengulas bersamaan dengan embusan desah legaku. Bi Saodah pasti melihat bagaimana Anesh memperlakukanku, lalu mengadu pada Pak Muis yang memang menyimpan semua kunci cadangan rumah ini.

Astaga. Bila kuingat itu sejak tadi, pasti aku sudah berseru memanggil nama asistenku ini, bukannya memohon minta dibukakan pintu pada Anesh yang entah kapan akan kembali. Rupanya rasa takut itu sempat membekukan akal sehatku.

"Ibu gak apa-apa?" tanyanya dengan rona kekhawatiran terlukis jelas di wajah.

Masih tersenyum, aku menggeleng. Ia tak perlu tahu, bagaimana aku sempat ketakutan karena teringat peristiwa pem-bully-an dulu.

"Bu, mendingan Ibu pergi daripada disakitin lagi sama bapak. Cepat, Bu, mumpung bapak belum kembali," suruhnya panik sambil menggenggam kedua pergelangan tanganku, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.

"Iya, Bu. Ibu pergi aja," imbuh Pak Muis.

Senyumku terentang semakin lebar. "Makasih ya, Bi, Pak," ucapku sebelum meninggalkan kamar mandi.

Pusing yang masih tersisa cukup menghambat langkahku, tapi kupaksa diriku menapaki lebih dari dua puluh anak tangga itu hingga tiba di kamarku.

Ketika pindah ke rumah ini, aku hanya membawa satu travel bag, tas selempang yang kugunakan sehari-hari dan laptop. Aku tak akan membutuhkan waktu lama untuk mengemasi itu semua.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang