2. Puisi dalam Laci

209 42 95
                                    

Carissa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Carissa

Aku punya alasan kenapa di kelas aku gemar duduk di deret paling depan dekat pintu. Alasan pertama, karena para mahasiswa yang duduk di belakang lebih senang mengobrol daripada menyimak dosen. Kedua, supaya lebih cepat ke luar begitu kuliah berakhir.

Dengan menunduk dan mendekap diktat-diktatku di dada, aku melesat meninggalkan kampus setelah dosen Pancasila menutup kuliah sore itu. Sebenarnya tak ada yang perlu kukerjakan di tempat kos yang membuatku harus terburu-buru. Namun berada di tengah orang-orang asing ini membuatku tak nyaman. Hanya di kamar kosku-lah aku merasa aman, meskipun aku tak tahu apa yang akan kulakukan di sisa hari ini. Tugas-tugas untuk beberapa hari ke depan sudah kuselesaikan setiap jeda kuliah di perpustakaan. Sementara bahan-bahan untuk UTS minggu depan sudah kupersiapkan dan tinggal mengulangnya beberapa saat menjelang tidur.

Lucu, ya? Bila orang lain membaca bacaan ringan sebelum tidur, bacaanku adalah catatan kuliah.

Di perjalanan menuju tempat kos, aku tak juga menurunkan kecepatan langkahku. Matahari sore yang masih bersinar terik itu membuatku ingin segera tiba di kamarku yang sejuk. Entah kenapa aku tak menyukai terik matahari meskipun aku berasal dari daerah bersuhu panas.

Sebuah sedan mewah melaju pelan di sampingku seperti sedang berusaha membarengi langkahku. Seketika pikiranku mulai berkecamuk panik. Aku bahkan tak punya keberanian untuk menengok dan mencari tahu apa yang akan mereka lakukan terhadapku. Melaju lebih cepat, hanya itu yang bisa kulakukan.

"Rissa!"

Aku cukup heran mendengar nama kecilku dipanggil oleh seorang lelaki. Selama ini tak seorang mahasiswa pun yang tahu nama panggilanku itu karena aku tak pernah berhubungan dengan mereka. Kecuali ....

Aku menoleh. Benar. Hanya kepada mereka, kedua senior yang mengajak berkenalan di perpustakaan tadi, aku memberi tahu. Dan keduanya berada dalam sedan itu dengan si Berisik di belakang kemudi dan temannya yang pendiam duduk di sampingnya. Jendela penumpang itu dibuka penuh sehingga aku bisa melihat jelas ke dalam. Anesh mencondongkan tubuhnya nyaris mendesak Keenan demi bisa bicara padaku.

"Mau pulang, ya? Rumah lo di mana? Ayo, masuk. Gue antar," seru Anesh.

Aku tersenyum tipis menanggapinya.

"Ayolah. Jangan malu-malu. Di luar panas. Mending naik mobil gue, AC-nya kencang."

Masih tersenyum, aku tak menghentikan langkah. Bukan karena perkenalan kami yang baru berjalan beberapa jam saja yang membuatku menolak memasuki mobil Anesh, tapi karena tempat kosku tinggal satu ... dua ... tiga langkah dan .... Aku pun berbelok memasuki halaman rumah bertingkat dua itu tanpa pamit pada mereka. Sementara di balik punggung, aku mendengar gelak keduanya.

Aku mendesah lega setelah menutup pintu besi yang merupakan jalan keluar-masuk khusus bagi penghuni kos yang berada di samping bangunan utama. Setidaknya untuk sementara aku terbebas dari mereka, meskipun kini mereka tahu tempat tinggalku.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Where stories live. Discover now