21. Sesak

76 22 61
                                    

Anesh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Anesh

Bahkan setelah meninggalkan tempat kosnya tadi aku sudah mulai merindukannya. Dan sekarang aku gak boleh menemuinya selama lebih dari dua minggu hanya untuk memahami perasaanku yang sebenarnya.

Astaga, Rissa, bagaimana lagi aku harus meyakinkanmu? Setahun pun kamu minta aku menunggu, perasaanku gak akan berubah.

Kuangkat lenganku yang dilingkari jam tangan. Sudah hampir tengah malam. Sudah hampir tiga jam aku duduk di sini, di teras belakang. Aku ingat karena aku sudah duduk di sini saat Mbok Nah pamit tidur pukul sembilan tadi. Pantas saja bokong dan punggungku terasa panas dan kaku.

"Kamu belum tidur, Nesh?"

Sapaan itu seketika membuatku terjaga dan mencari sumbernya. Mama berdiri di ambang pintu masih dengan riasan dan pakaian yang kulihat saat meninggalkan rumah siang tadi.

"Mama kok baru pulang?" Aku tak menjawab dan malah balik bertanya.

Mama menghempaskan diri di kursi kosong di sampingku. Desahnya terembus, seperti ada rasa lega baru menyelesaikan satu pekerjaan. "Namanya juga pameran. Persiapan dan beres-beresnya selalu makan waktu lebih lama," jawabnya.

"Mama 'kan punya anak buah. Kenapa gak serahin aja sama mereka?"

"Ya gak mungkin Mama membiarkan mereka kerja sendiri 'kan, Nesh? Mama tetap harus mengontrol mereka."

Aku gak membalas lagi. Bagaimanapun aku meminta Mama untuk gak bekerja terlalu keras, Mama selalu punya alasan untuk mendebatku. Begitulah Mama. Untuk soal pekerjaan, ia memang perfeksionis, sama seperti putra tunggalnya.

"Mama mau teh?" tawarku.

"Gak usah, deh. Kelihatannya malam ini Mama mau cepat tidur aja," tolak Mama.

"Oke," aku menyahut pelan.

Beberapa detik berikutnya kami lalui dalam diam hingga aku mendengar suara Mama lagi.

"Kamu lagi punya masalah ya, Nesh?" tanyanya.

"Ah, enggak, kok," elakku sambil tersenyum canggung.

"Kamu kira Mama anak kemarin sore yang gak tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu?"

Aku terkekeh tanpa sanggup mengarahkan mataku pada Mama. Bahkan tanpa menunjukkan sinar mata ini, Mama sudah tahu yang kupikirkan hanya dengan melihat sikapku.

"Pasti mikirin Carissa."

Aku terkekeh lagi. Tampaknya memang gak ada yang bisa kusembunyikan dari Mama.

"Ada masalah apa memangnya?" Mama mendesak.

"Aku sudah nembak dia, Ma," aku mengaku.

"Kalau melihat muka kamu, kelihatannya dia menolak."

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Where stories live. Discover now