38. Kesempatan

52 16 60
                                    

Carissa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Carissa

Hanya sebulan waktu liburan yang kuhabiskan di Semarang. Dan hingga hari keberangkatanku kembali ke Bandung, tak sekali pun Anesh mengirimiku pesan. Puisi-puisi penyesalannya pun absen dari aplikasi percakapanku. Aku bahkan sempat berharap ia akan menyusulku, seperti dulu.

Ya sudahlah. Mungkin ia sudah menyerah. Kelihatannya aku memang harus segera move on.

Malam itu aku berangkat lebih awal karena hendak singgah di Jalan Pandanaran untuk membeli oleh-oleh bagi beberapa teman, pemilik tempat kos, penjaga keamanan kos, dan Keenan. Saat meneruskan perjalanan ke stasiun, Mas Panji memandu mobilnya melalui Lawang Sewu¹, salah satu gedung bersejarah di Semarang yang dulu terkenal angker.

Lawang Sewu. Ketika kerabatku mengadakan hajatan di sana, aku langsung bercita-cita juga ingin menikah di sana. Aku memang pengagum gedung-gedung berarsitektur kuno. Namun dengan kandasnya hubunganku dengan Anesh, entah apakah penggantinya nanti--bila berjodoh--bersedia melangsungkan resepsi di tempat itu.

*

Sejak beberapa hari yang lalu, aku sudah berkirim kabar dengan Keenan, kapan aku akan kembali, pukul berapa keretaku tiba dan di pintu mana kami akan bertemu.

Kulongokkan kepalaku ke arah pintu keluar peron, mencoba mengenali setiap penjemput yang berkerumun di sana. Namun semua hanyalah wajah-wajah asing bagiku. Tunggu ....

Kelihatannya aku mengenali seseorang. Bukan Keenan, melainkan Anesh.

Seketika langkahku terpaku dan aku harus merelakan tubuhku beberapa kali terhantam arus para mantan penumpang kereta yang tak berhenti melaju. Kenapa justru bocah ini yang menjemputku? Apa yang ia katakan pada Keenan hingga Keenan urung menjemputku? Seingatku, Keenan juga tak memberitahuku tentang ini.

Laki-laki itu tersenyum rikuh padaku. Aku pun meneruskan jalanku, mendatanginya. Aku tak punya pilihan lain, 'kan?

"Aku yang minta sama Keenan, aku akan menjemputmu," aku Anesh begitu aku berhenti di hadapannya. Ia lalu mengulurkan tangannya ke arahku.

Alih-alih meletakkan tanganku di tangannya, kualihkan koperku dan kardus berisi oleh-oleh padanya dengan raut datar. Dan selama melangkah menuju tempat mobilnya diparkir aku menenggelamkan kedua tanganku dalam saku jaket dan mengambil jarak beberapa langkah di sampingnya supaya ia tak punya kesempatan untuk menggandengku atau melingkarkan lengannya di pundakku. Bahkan di mobilnya, aku malah memusatkan perhatian pada pesan percakapan yang kukirimkan untuk Keenan.

Aku memprotesnya karena sudah membiarkan Anesh menjemputku. Dan pemuda itu hanya membalas, 'Kalian perlu bicara. Buat perjanjian sama dia, kalau perlu kasih masa percobaan seperti dulu.' Di akhir kalimatnya, ia menempatkan tiga emoji terbahak, membuatku berdecak sebal tanpa sadar.

"Kenapa?" tanya Anesh.

Astaga. Aku baru ingat aku tak duduk sendiri. Apalagi di sampingku adalah orang yang menjadi bahan pembicaraanku dengan Keenan.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Where stories live. Discover now