16. Melupakannya

91 22 67
                                    

Keenan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Keenan

Gadis mana yang akan menolak pesona laki-laki seperti Anesh? Dia sempurna dan punya segalanya. Bahkan tak seorang pun temannya yang mampu bersaing dengannya, termasuk aku. Semenjak SMA aku selalu satu langkah di belakangnya, terutama dalam bidang olahraga dan sastra. Dan kali ini, aku kembali disematkan gelar Pecundang dalam merebut hati seorang gadis, meskipun sebelumnya bukan Anesh yang mencundangiku.

Marahkah aku? Kecewakah aku? Entahlah. Aku perlu waktu untuk memberi diriku kesempatan memahami perasaan ini. Dan aku perlu sendiri, setidaknya menjauh sesaat dari Anesh dan Carissa.

Anesh pasti mengerti, tapi aku tak tahu bagaimana menjelaskannya pada Carissa. Ia pasti bertanya-tanya kenapa tiba-tiba aku menjauh. Namun aku tak mungkin mengungkapkan alasannya. Akan ada satu perasaan yang terluka bila aku mengungkapnya. Anesh.

Lagi pula, dari tatapan matanya, aku tahu Carissa sudah memilih. Dan itu bukan aku. Sementara satu-satunya pilihanku hanyalah melupakannya. Apa pun yang pernah kudapatkan darinya. Entah itu senyumnya, tatapannya, logatnya, celetukan khasnya yang dalam waktu sekejap sudah menggores sangat dalam di benak. Begitu dalam hingga aku tak sanggup membencinya.

Mereka yang bilang, membenci seseorang bisa membantu melupakannya. Namun menurutku itu tergantung siapa yang harus dilupakan dan apa yang dilakukan hingga patut dibenci. Namun Anesh tak pantas dibenci. Ia berhak memiliki rasa itu. Lagi pula ia telah berbuat banyak bagi keluargaku, terutama sejak Ayah meninggal beberapa tahun yang lalu. Carissa pun tak melakukan kesalahan apa-apa. Hatikulah yang salah, mencintainya tanpa tahu untuk siapa hatinya akan ia berikan.

Dan tampaknya menghindar saja tak akan cukup. Aku perlu distraksi yang akan membiaskan pikiran ini darinya.

Pagi berikutnya setiba di kampus, setelah menolak dijemput Anesh, aku langsung mengarahkan langkahku ke Biro Informasi di Gedung Administrasi Pusat. Tujuanku hanya satu, mencari lowongan pekerjaan. Dalam dua minggu ke depan, sebelum UAS dimulai, masih banyak bilik kosong di agendaku yang bisa kuisi dengan mengajar kelompok maupun privat. Aku ingin memenuhinya dan berharap dengan begitu aku akan bisa memutus memoriku tentang Carissa.

Kirani pun telah kukerahkan untuk mengajak teman-temannya yang berminat berguru bahasa Inggris padaku. Dan ekspresi kagetnya sudah bisa kuduga saat kusodorkan jadwal mengajarku.

"Mas, bukannya ini terlalu padat? Masa setiap jam mengajar tanpa istirahat? Lewat jam makan lagi," protesnya dengan telunjuk menyusur di atas kolom waktu pada agenda yang kuberikan.

"Makan 'kan bisa di sela-selanya, Ki," aku membalas acuh.

"Kalau ngajarnya pindah-pindah kayak gini, kapan makannya?"

"Itu bisa diatur. Yang penting kejar setoran dulu." Aku segera berbalik tanpa mengungkap alasanku sebenarnya, mengarah kamarku demi menghindarinya.

Adikku ini memang mirip Ibu. Cerewetnya. Bila Ibu sedang tak berada di rumah, dialah yang menggantikan posisinya, membuat suasana rumah seperti tak ada bedanya.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Where stories live. Discover now