49. Terungkap

115 19 90
                                    

Carissa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Carissa

"Bu! Nyebut, Bu! Astaghfirullah!"

Aku mengerjap perlahan saat merasakan tepukan lembut di pipiku. Lambat laun wajah panik Bi Saodah terbentuk di penglihatanku. Namun baru saja kugerakkan kepalaku, aku merasakan sakit yang luar biasa.

"Ya ampun, Ibu! Pipinya ...." Telunjuk asisten rumah tangga ini mengarah pada wajahku dan ada kengerian tergambar di rautnya.

Entah ada apa di pipiku. Aku hanya ingin bangkit, tapi rasa pusingku ini menahanku hingga aku kembali terduduk. "Tolong, Bi. Saya mau berdiri," pintaku seraya mengulurkan tangan padanya.

Satu tangan Bi Saodah dililitnya di lenganku, sementara tangan yang lain ia lingkarkan di bawah ketiakku. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya.

"Saya pusing, Bi," sahutku lemah.

"Saya antar ke dokter, ya."

"Gak usah. Saya mau tiduran aja."

Namun bukannya membawaku ke kamar tidur, perempuan itu malah mendudukkanku di depan meja makan. Ia lalu mengambilkan aku segelas air mineral. "Minum dulu, Bu. Kamarnya jauh," katanya.

Kuturuti saja kemauannya. Mungkin dengan duduk beberapa saat, rasa pusing ini akan berkurang.

"Bapak mana, Bi?" tanyaku dengan mata terpejam.

"Ngapain sih, Bu, masih nanyain bapak?" respons Bi Saodah yang tak kuduga sama sekali. "Kata saya mah, mending Ibu tinggalin bapak aja biar gak disakitin lagi," lanjut perempuan itu.

Gerak bibirku hanya membentuk senyuman, bukan jawaban. Entah bagaimana aku harus menjawabnya. Masalahnya, bukan meninggalkannya yang sulit, tapi bagaimana reaksi orang tuaku nanti bila mengetahui putri bungsu mereka membatalkan pernikahan karena diperlakukan kasar oleh calon suaminya sendiri? Dan apa Mama Stella cukup tegar untuk mengumumkan pembatalan pernikahan kami?

Kupaksa kelopak mataku menguak. Masih ada nyeri yang tersisa di kepalaku, tapi kuberkeras untuk bangkit.

Bi Saodah yang tiba-tiba muncul entah dari mana bertanya, "Ibu mau ke mana?"

"Saya mau ke kamar."

Perempuan itu buru-buru mendekatiku, hendak memegangi lenganku.

"Saya bisa sendiri kok, Bi. Bibi beres-beres aja," tolakku.

Bi Saodah melepaskan lenganku, tapi belum beranjak dari tempatnya. Mungkin bersiaga bila tiba-tiba aku terjatuh.

Tertatih, aku melangkah dan memilih merapat pada dinding, hingga bisa bersandar bila sewaktu-waktu kepalaku kembali dihantam nyeri.

Melintasi ruang tamu, mataku menangkap bertumpuk-tumpuk kardus berisi undangan yang sedari tadi belum kusentuh. Langkahku pun berbelok ke sana. Dengan perlahan aku berlutut di depan salah satu kardus dan membukanya, menguak barisan kartu undangan mewah hasil diskusi kami dengan desainer di percetakan beberapa minggu yang lalu.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang