33. Sehari Bersamanya

79 17 68
                                    

Keenan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keenan

Semua itu siasatku. Semalam aku menghubungi Bianca kalau hari ini aku akan mengajak seseorang yang juga bisa bercerita hingga gadis yang biasanya bertugas sebagai pendongeng itu bisa rehat sejenak. Untungnya Carissa sungguh mengagumkan, setidaknya di mataku. Bukan hanya anak-anak itu saja yang terkesan, aku pun merasakan hal yang sama. Ia benar-benar tahu membawa dirinya saat bercerita di depan anak-anak, bagaimana ia bisa membuat mereka merasakan isi cerita. Dan saat tanpa sengaja ia menatapku, bibirku menyunggingkan senyum penuh kekaguman. Kuakui aku semakin memujanya.

Bocah-bocah itu bertepuk tangan di akhir cerita Carissa. Namun beberapa dari mereka terdengar melayangkan protes. Mungkin mereka akan terus memaksanya mendongengkan kisah lain kalau saja Bianca tak maju dan membantu menyudahi sesi itu.

Wajah Carissa tampak berseri-seri saat kembali ke belakang. Aku bangkit dari kursiku. Saat ia mencapai sisiku, "Kamu hebat tadi," aku berbisik memuji. Dan bisa kutangkap rona merah di pipinya saat ia tersenyum.

Waktu kami masih tersisa dua puluh menit dan biasanya diisi oleh sesi origami atau melukis. Dan pada sesi ini, kami dikerahkan untuk mendampingi bocah-bocah itu. Setiap meja mempunyai satu pendamping. Aku pun harus membiarkan Carissa duduk sendiri di belakang.

Namun tampaknya gadis itu tak tampak jenuh. Ia malah berkeliling, memperhatikan yang sedang kami lakukan. Sesekali ia mengabadikan kegiatan kami dengan kamera ponselnya. Sesekali ia juga ikut berjongkok di dekat seorang bocah dan membantunya melipat kertas.

Ia baru meninggalkan kami saat terdengar dering singkat dari ponselnya. Melihat reaksinya yang girang, aku tahu, Anesh mengiriminya pesan.

Dari tempatku, beberapa kali aku mencuri lihat ke arah Carissa yang sudah kembali duduk di tempatnya. Kepalanya terus terpaku pada layar ponsel, baik sedang mengetik maupun menunggu jawaban dari seberang, dan senyumnya tak pernah berhenti terulas. Setelah lima hari, ia pasti sangat merindukan pangerannya.

Namun aku menyadari sesuatu saat tiba-tiba ia meninggalkan ponselnya dalam tas dan senyumnya lenyap. Ia juga tak lagi mengitari ruangan memperhatikan kami, tapi duduk bergeming sambil bersedekap. Rautnya begitu tegang dengan rahang terkatup rapat. Bertengkarkah dia dengan Anesh?

Pukul sepuluh tepat, tugas kami di sana berakhir. Sebuah mobil minibus berwarna putih tampak terparkir di luar pagar. Sementara dua orang wanita kira-kira berusia empat puluhan berdiri menunggu di halaman. Dan wajah masam Carissa sekejap berubah lebih hangat ketika beberapa anak perempuan mendekapnya. Sambil tersenyum, ia membalas lambaian anak-anak itu.

Kami meninggalkan tempat itu setelah kedua belas anak beserta dua orang wanita pendampingnya pergi dengan minibus tadi. Kami lalu berpamitan pada Bianca dan Akbar. Keduanya menjabat tangan Carissa dan memujinya, membuat rona gadis itu semakin berseri.

Namun ekspresinya berubah lagi ketika mobil yang kukendarai bersamanya ini menjauh dari Pondok Mendongeng. Kepalanya hanya diarahkan pada jendelanya. Ingin kutahu masalahnya, tapi menanyakan sesuatu yang tak ingin ia ungkapkan, bukanlah kebiasaanku.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang