43. Kejutan Anesh

58 15 52
                                    

Carissa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Carissa

Ibu mempunyai pemikiran yang sama denganku tentang pemberian Anesh karena di antara kami belum ada ikatan apa pun. Mulanya ia juga keberatan aku pindah ke sana. Namun setelah kuyakinkan bahwa aku tak akan tinggal sendiri, melainkan bersama seorang asisten rumah tangga dan satpam, ditambah lokasinya yang dekat dengan rumah Anesh, ia mengizinkanku.

Untung saja barang-barangku tak begitu banyak sehingga kepindahanku siang itu tak begitu merepotkan. Lagi pula nantinya aku juga akan tinggal di Bandung. Kebutuhan lainnya bisa kubeli nanti bila aku baru benar-benar membutuhkannya.

Dan ternyata bukan hanya Anesh yang senang dengan kepindahanku, Bi Saodah juga demikian. Setidaknya sekarang ia punya teman bicara. Ia memang lebih menyukai teman bicara perempuan karena menurutnya lebih nyambung dan bisa memahami.

Bi Saodah berasal dari Tasikmalaya. Suaminya sudah lama meninggal dan anak-anaknya sudah besar serta telah menikah hingga ia tak punya kekhawatiran untuk meninggalkan mereka. Darinya pula aku belajar masakan Sunda dan Jakarta, tempatnya dulu bekerja. Sebelum pindah kemari, ia memang bekerja untuk keluarga Anesh di Jakarta. Namun karena faktor usia dan rumah di Jakarta cukup besar, ia memilih untuk bekerja di rumah putra majikannya yang lebih kecil.

Sementara Anesh datang hampir setiap hari, menjemputku untuk melengkapi keperluan pernikahan bersama Mama Stella--sejak acara lamaran di Semarang, ia memintaku memanggilnya 'Mama', menumpang makan, meneruskan novelnya, atau sekadar menonton siaran TV sampai bosan. Aku pun jadi hafal kebiasaan-kebiasaannya.

"Ris, kamu di mana?"

Dan itu salah satu kebiasaannya bila memasuki pintu utama, berseru mencariku seperti bocah SD yang baru pulang sekolah mencari mamanya.

"Dapur!" balasku tanpa berhenti mengaduk sayur lodeh dalam panci. Bi Saodah yang mulanya berdiri di sisiku, bersiaga bila sewaktu-waktu aku membutuhkannya, segera beranjak mendengar suara majikan mudanya. Mungkin ia risi akan disuguhi adegan tak senonoh antara aku dan Anesh, meskipun tindakan Anesh tak pernah lebih dari bergelayut di bahuku.

"Kamu masak apa?" Anesh mendekat dan, seperti biasa, merengkuh pinggangku dan meletakkan dagunya di bahuku.

"Sayur lodeh. Sudah lapar?" Sejenak kusempatkan mengusap pipinya yang bersih dari cambang.

"Hmm." Ia mengangguk di bahuku yang membuatnya semakin terbebani.

"Dagu kamu tuh, Nesh, tolong diajari supaya gak bikin bahuku pegal," suruhku.

Anesh terkekeh sambil mengacak rambutku pelan. Ia lalu lepaskan gelayutnya, menjauhiku dan menghempaskan diri di depan meja makan, menghadapi hidangan yang hampir tersaji semua di sana. "Sudah ada kabar dari percetakan?" tanyanya.

"Belum," sahutku seraya memindahkan sayur lodeh yang sudah matang dalam mangkuk. Aku lalu membawanya ke meja makan dan melepekinya dengan piring kecil. Di samping Anesh, aku menempatkan bokongku.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang