Anesh
Sang DJ dan beberapa temanku tampak belum lelah bergoyang. Sisanya terlihat membuat kelompok-kelompok kecil sambil mengobrol dan menikmati makan malam atau minuman. Dan baru kusadari aku sudah cukup lama meninggalkan Carissa. Aku pun baru ingat belum menawarinya makan malam. Tuan rumah macam apa aku ini?
Kuarahkan kepalaku ke teras. Tempat itu kosong. Rasa khawatirku seketika menggiring langkah tergesaku ke sana, berjaga-jaga bila terjadi sesuatu padanya. Namun teras itu memang kosong dan tak menunjukkan tanda-tanda bekas disinggahi.
Tak urung kulanjutkan langkahku melintasi teras hingga sayup-sayup terdengar suara tawa berderai dari balik dinding kaca yang membatasi teras dengan ruang makan. Aku terpaku. Di balik dinding kaca itu, di ruang makan, Carissa dan Keenan duduk berhadapan. Sementara di tengah meja dua mangkuk stirofoam bekas kemasan mi instan yang sudah kosong teronggok jadi satu.
Memang tak ada yang aneh dari interaksi mereka. Hanya saja melihat Keenan bicara yang sesekali disela oleh tawa Carissa yang begitu lepas, jantungku terasa seperti diremas. Nyeri. Apalagi Carissa tak terlihat sakit seperti yang ia katakan tadi. Berbohongkah dia, demi bisa berduaan dengan Keenan?
Sambil menahan perih, kulanjutkan langkahku. Dan dalam setiap langkah, kuhela napasku dalam-dalam dan melepasnya perlahan, mencoba membuang rasa sakit ini.
"Aku cari ke mana-mana ternyata kalian di sini," cetusku tiba-tiba di ambang ruang makan.
Keduanya serentak menoleh ke arahku dan tersenyum. Bukan senyum kikuk.
"Sorry, Nesh. Tadi gue ambil persediaan lo," tunjuk Keenan pada tumpukan mangkuk di depannya.
"Sejak kapan lo minta izin ngambil persediaan gue?" balasku, berusaha membenamkan rasa perih yang masih tersisa itu dalam-dalam.
Carissa dan Keenan terkekeh, lagi-lagi, bersamaan.
"Ris, masih pusing?" Aku beralih pada Carissa.
"Eh .... Sudah baikan," jawabnya tersendat.
Dia memang berbohong. Sikapnya yang menjelaskan.
"Nesh, aku boleh pulang?" Gadis itu bangkit dari kursinya.
"Kenapa?" Dahiku membentuk kerutan-kerutan dalam.
"Eng .... Aku agak capek."
"Oke. Yuk ...."
"Biar aku diantar Keenan. Kamu temani aja teman-temanmu," ujar Carissa buru-buru saat melihatku hendak menggiringnya ke arah garasi.
Bukannya menyahut, Keenan malah memalingkan wajahnya ke arahku dan menatap sungkan.
"Mereka bisa aku tinggal sebentar," tukasku, sekaligus menjawab kebimbangan Keenan. Lalu pada pemuda itu aku berkata,
"Keen, gue pinjam mobil lo. Mobil gue di garasi."
YOU ARE READING
✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]
Romance[Romance] Menjelang pernikahannya, Carissa mulai ragu dengan keputusannya, antara meneruskan hubungannya dengan calon suaminya, Ganesha, atau membatalkan semua, yang berisiko membuat malu kedua belah pihak keluarga. Di satu pihak, Ganesha yang dulu...