36. Lelah

72 18 72
                                    

Carissa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Carissa

Anesh memang tak mengucapkan sepatah kata pun selama di perjalanan. Namun dari caranya menyetir dan caranya memijit klakson saat lampu lalu lintas berubah hijau, aku tahu ia gusar. Ini pertama kalinya aku melihatnya segusar itu. Dan penyebabnya adalah aku. Tak pernah terlintas dalam pikiranku, bocah-bocah seumuran mereka pasti tertarik melihat gadget. Seandainya aku tak pernah meminta Anesh membawa laptop, peristiwa itu mungkin tak akan terjadi.

Anesh masih diam kala mobilnya berhenti di halaman tempat kosku. Aku pun tak melihat tanda-tanda ia hendak bicara maupun menyuruhku turun. Akhirnya aku yang memulai.

"Maaf, ya. Aku gak tahu kalau akhirnya bakal begini," ucapku pelan.

Anesh masih bergeming. Wajahnya diarahkan lurus ke depan.

"Aku ngerti, kok, kalau kamu gak mau antar aku ke sana lagi. Aku bisa ...."

"Aku gak akan kembali ke sana dan aku juga gak izinin kamu ke sana," potong Anesh tiba-tiba dengan nada tegas.

Kepalaku menoleh cepat ke arahnya. "Kenapa?"

"Apa yang bakal kamu dapatin di sana, Ris? Lama-lama tempat itu bakal merusak kamu."

"Merusak gimana maksud kamu?"

"Kamu lihat 'kan anak tadi?" Anesh mendengus. "Di mana-mana anak kecil sama aja. Selalu merusak. Apa orang tuanya gak pernah ngajarin untuk bertanggung jawab sama barang yang bukan miliknya?"

Kuembuskan napasku kuat-kuat. "Mereka yatim piatu, Nesh. Mereka tinggal di panti asuhan."

Sejenak aku tak mendengar sahutan lelaki ini.

"Dan sudah tugas kita yang lebih dewasa untuk memperbaiki mereka supaya mereka berhenti merusak," lanjutku.

"Ya ajarin, dong! Jangan nunggu sampai barang orang lain jadi korban dulu," sentak Anesh.

Aku mendesah. "Nesh, bukannya aku meremehkan barang kamu yang rusak, tapi menurutku reaksi kamu terlalu berlebihan."

Anesh memutar kepalanya ke arahku dengan gerakan cepat. "'Berlebihan' kata kamu?" ulangnya emosi. "Oke. Ini cuma hape. Memang gak seberapa. Bahkan aku masih sanggup beli lagi. Tapi gimana kalau yang rusak laptopku yang isinya naskah-naskah novelku? Gimana aku harus menggantinya?

"Pokoknya aku gak setuju kamu kembali ke sana. Gak ada untungnya juga buat kamu."

"Kamu gak ngerti, Nesh. Secara materi, tempat itu memang gak ngasih keuntungan. Tapi bisa menyelami dunia mereka itu keuntungan buat aku.

"Kamu tahu 'kan aku ingin jadi penulis dongeng anak-anak? Gimana aku bisa menulis dongeng kalau aku gak mengenal mereka?"

"Kamu 'kan punya keponakan."

"Iya, tapi mereka 'kan gak akan jadi anak-anak terus. Setelah mereka dewasa, gimana caraku untuk terus bertahan sebagai penulis dongeng?"

Anesh melengos sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sesuatu yang baru kali ini dilakukannya di hadapanku. "Apa itu bukan cuma alasan kamu supaya bisa dekat sama Keenan?" sindirnya yang sontak membuat mataku membeliak.

"Kenapa sih, setiap kita berdebat, kamu selalu bawa-bawa Keenan?"

"Karena dia yang mengenalkan kamu sama anak-anak itu."

Aku mendesah pelan. Bicara dengan bocah ini memang perlu kesabaran ekstra. Kekeraskepalaannya sungguh tak tertandingi. "Nesh, seandainya bukan Keenan yang mengenalkan aku sama anak-anak itu, aku akan tetap berhubungan dengan anak-anak dari mana pun. Lagian kamu juga 'kan, yang minta Keenan untuk menemani aku selama kamu pergi?"

"Iya, tapi aku gak berharap kamu bisa dipengaruhi dia."

Sepasang alisku bertaut. "Lho? Selama pengaruh dia baik, apa salahnya?"

Aku bisa menangkap keputusasaan Anesh saat ia menghempaskan kepalanya di sandaran jok. "Ris, kamu tuh pacar aku. Aku ingin kamu mendukungku, bukan orang lain," desahnya.

"Aku kurang mendukung apa lagi sih, Nesh? Kamu ingin jadi penulis sampai harus riset ke Yogya pun aku dukung. Terus, apa aku gak boleh minta dukungan kamu juga?"

"Meskipun aku gak suka?"

"Aku gak perlu kamu untuk menyukainya. Aku cuma perlu didukung."

Kepala Anesh bergeleng. "Sorry. Aku gak bisa dukung kalau itu merugikan kamu."

Lagi-lagi desahku terembus. "Nesh, tolong lihat dari sudut pandang aku. Aku sama sekali gak merasa dirugikan."

"Rissa, kamu ngerti gak, sih? Aku ini sedang mengkhawatirkan kamu."

"Tapi kenapa aku justru merasa kamu sedang mengaturku?"

"Lho? Ini 'kan untuk kebaikan kamu juga. Apa salahnya?"

"Jadi menurut kamu, gak berhubungan dengan anak-anak itu dan gak jadi penulis dongeng itu baik untuk aku?"

"Yang bilang 'Gak jadi penulis dongeng itu baik untuk kamu' tuh siapa?"

Kupalingkan kepalaku ke luar jendela dan setelah mengembuskan napas aku bersuara pelan, "Nesh, apa kamu juga akan mengatur topik tugas akhirku?"

Kepala Anesh pun berputar menghadapiku. "Maksudnya?"

"Keenan menawariku untuk menjadikan anak-anak di sana sebagai bahan tugas akhirku."

Decihan Anesh terdengar. "Memangnya gak ada topik lain?"

"Aku sudah setuju," tandasku.

"Masih ada waktu untuk menggantinya, Ris."

"Jadi urusan kuliahku mau kamu atur juga?"

Anesh diam tanpa membalas tatapanku.

"Nesh, hubungan kita belum terlalu jauh. Baru setahun. Tapi aku sudah lelah."

Dengan gerakan cepat, laki-laki itu kembali mengarahkan tatapannya padaku. "Maksud kamu apa?"

"Perjalananku masih panjang dan masih banyak yang ingin kulakukan tanpa pengaruh dari siapa pun. Kukira kamu akan mendukungku, tapi ternyata aku salah."

"Kamu ngomong apa sih, Ris?"

Setelah tarikan napas dalam-dalam dan tanpa menjawab pertanyaannya, kuloloskan gelang couple yang baru ia berikan sebelum berangkat tadi. Kuhela tangannya dan kuletakkan gelang itu di telapak tangannya. "Maaf," ucapku pelan.

"Maksud kamu ...."

Aku mendorong pintu mobil dan menjejak ke luar.

"Ris!"

Suara pintu mobil di belakangku seolah memberitahuku, Anesh berusaha mengejarku. Aku pun melajukan ayunan langkahku.

"Ris, tunggu!"

Keterlambatannya selama beberapa detik sungguh menguntungkanku. Aku berhasil menerobos pintu dan menutupnya rapat. Serapat aku menutup mata, telinga dan hatiku.

Bersambung

--------------------------------------------------------------

A.D
Bandung, 1 Juni 2021

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Where stories live. Discover now