41. Lamaran

60 15 54
                                    

Carissa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Carissa

Anesh ingin semuanya dipercepat. Ia ingin dalam waktu enam bulan statusnya sudah berubah menjadi suamiku. Apa ia tak sadar aku masih harus mengurus dokumen-dokumen kelulusanku dan wisuda? Dan apa ia tak sadar banyak yang harus dilakukan untuk mempersiapkan pernikahan?

Untung ada Tante Stella yang mau meluangkan waktu untuk membantuku. Ia bahkan rela meninggalkan bisnisnya sejenak demi mempersiapkan semua, dari wedding organizer, kebaya, undangan, suvenir, hingga gedung, termasuk mendesain cincin pertunangan dan pernikahan kami. Segalanya ia lakukan sendiri. Catat, sen-di-ri, tanpa bantuan sedikit pun dari para asistennya. Kini aku tahu dari mana Anesh mewarisi sifat perfeksionisnya.

Resepsiku nanti akan diadakan di dua kota, Semarang dan Bandung, supaya kerabat dan teman-teman orang tua Anesh yang sebagian besar berdomisili di Bandung dan Jakarta tak perlu melakukan perjalanan jauh. Hanya saja aku harus mengubur mimpiku melangsungkan hajatan di Lawang Sewu. Tante Stella ingin resepsi di Semarang juga diselenggarakan di hotel. Anesh sampai harus berdebat dengannya demi bisa mewujudkan mimpiku. Namun aku memahami alasan Tante Stella. Ia hanya ingin kerabatnya nanti bisa langsung beristirahat setelah menghadiri resepsi dan tak perlu terjebak kemacetan dalam perjalanan dari lokasi ke hotel serta bisa menghemat biaya transportasi.

Kecewa? Tentu saja. Namun setidaknya Anesh sudah meluluskan dua permintaanku yang pertama. Lagi pula keluarganya lebih banyak berperan dalam persiapan ini. Tak patut rasanya kalau aku meminta lebih.

Dan rupanya Anesh juga tak sabar ingin kembali menulis. Ia tak ingin ide yang sudah terbentuk sempurna di kepalanya mengendap terlalu lama. Dengan janji mau membantu persiapan pernikahan bila dibutuhkan, akhirnya ia mendapatkan izinku.

Sesuai janjiku pada Anesh pula, sebulan sebelum melangsungkan lamaran, aku sudah mengungkap niatku untuk mengundurkan diri pada para sukarelawan di Pondok Mendongeng. Bianca dan Akbar segera mengucap selamat setelah mendengar alasanku. Namun Keenan, sorot matanya sungguh tak bisa kuartikan, meski pada akhirnya ia ikut mengucapkan selamat. Saat mengantarku pulang pun ia lebih banyak diam.

"Keen, aku tahu lokasinya memang jauh. Tapi usahakan kamu datang ke lamaran aku, ya," mohonku sebelum melompat turun dari mobilnya.

"Lihat nanti, deh," sahutnya dengan senyum yang, kutahu, dipaksakan.

"Kok lihat nanti, sih?" protesku dengan bibir mengerucut.

Keenan terkekeh. "Oke, deh. Aku usahakan. Tapi kalau gak bentrok dengan jadwal mengajar, ya."

Aku meringis sebelum meninggalkannya.

*

Acara lamaran itu digelar seminggu saja setelah acara wisudaku yang dihadiri Bapak, Ibu dan Anesh. Karena lokasinya yang jauh, Anesh tak didampingi oleh banyak kerabatnya. Namun setidaknya jumlah mereka cukup untuk membawa seserahan. Dan meskipun hanya dinaungi tenda sederhana di halaman belakang, penampilan kami terlihat apik karena seragam yang dipilih oleh Tante Stella. Bahkan kebaya brokat biru mudaku ini sangat serasi dengan kemeja batik Anesh.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang