20. Mencari Jawaban

68 23 74
                                    

Carissa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Carissa

Hening menyusup di antara kami kala Anesh mengantarku kembali ke tempat kos, menyisakan dengung lembut pendingin udara di bawah dasbor mobilnya. Aku bahkan tak punya kesanggupan untuk memalingkan wajah ke arahnya. Sejak memasuki mobilnya tadi, mataku hanya kuarahkan menembus jendelaku.

Oke. Anggap aku baper. Namun kenapa ia harus mengungkapkan isi hati saat aku berada di sana? Lalu kenapa lelaki di sampingku ini hanya merapatkan bibir dan tak menjelaskan maksud ungkapannya tadi? Dan kalau itu memang permintaannya untuk menjadikanku pacar, kenapa ia tak menagih jawabanku?

Sepuluh menit waktu yang kami butuhkan untuk mencapai tempat kosku dari rumahnya. Sepuluh menit pula perjalanan itu kami lalui dengan bungkam. Namun ia sungguh menepati janjinya pada mamanya, mengantarku hingga halaman tempat kos.

"Ris," panggilnya, menahanku dari mendorong pintu mobil ini, "kita ngobrol dulu, ya."

Tanpa berpikir panjang aku mengangguk. Inilah saatnya.

Aku mendului Anesh menuju satu set meja dan kursi yang berada di beranda rumah pemilik kos. Sekaligus untuk menghindari kecurigaan pak satpam yang sejak kami keluar dari mobil belum juga melepas penglihatannya dari kami.

Pemuda ini gugup. Ia tak langsung bicara begitu kami menempati kursi-kursi itu. Tatapannya pun tak diarahkan padaku. Namun aku diam menunggu dan menahan rasa penasaran.

"Maaf." Akhirnya tercetus juga satu kata dari mulutnya. Kata yang serta merta membuat kedua alisku bertaut.

"Maaf, aku sudah membuatmu syok," lanjutnya. "Maaf, kalau aku lebih suka bicara daripada bertindak. Maaf, kalau rasa itu datang tiba-tiba. Dan maaf, aku mengungkapkannya dengan cara seperti itu karena aku gak sanggup untuk menahannya lagi."

Astaga. Apa ia akan terus minta maaf?

"Kenapa harus minta maaf?" tanyaku pelan.

"Aku takut membuatmu gak nyaman."

"Aku memang syok, tapi aku gak merasakan ketidaknyamanan. Aku justru berterima kasih sama kamu."

Untuk pertama kali sejak meninggalkan rumahnya, Anesh menatapku. Dan kali ini pula aku bisa membaca sorot matanya. Dia lega pengakuannya tak membuatku tak nyaman. Namun tampaknya ia juga bingung untuk apa aku berterima kasih.

"Untuk apa?" tanyanya. Untuk pertama kalinya pula aku melihat senyumnya.

"Terima kasih sudah memberitahuku ada yang menyayangiku." Kuakhiri kalimat itu dengan senyum.

Anesh membalas senyumku. Lebar. "Apa itu artinya kamu mau ...."

Aku menggeleng yang seketika menyudahi senyum pemuda itu. "Aku belum bisa memutuskan karena aku belum yakin dengan perasaanku. Aku gak mau gegabah yang pada akhirnya bisa melukai perasaan kita berdua. Beri aku waktu. Setidaknya sampai aku bisa memahami perasaanku dan apa yang kuinginkan.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Where stories live. Discover now