22. Pulang

72 18 44
                                    

Carissa

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

Carissa

Semalam menjelang pukul sembilan, kereta Harina yang kutumpangi ini bertolak ke kampung halamanku. Dan pagi ini, pukul lima lewat, ketika langit Semarang baru memunculkan semburat oranye di cakrawala, kakiku menjejak di lantai peron Stasiun Semarang Tawang, menyatu bersama ratusan penumpang lainnya menuju lobi stasiun. Suara guliran roda koper yang diseret pun meningkahi derap langkah kami.

Beberapa hari yang lalu setelah memesan tiket, aku langsung mengabari keluargaku. Dan Mas Panji-lah yang diutus untuk menjemputku, meskipun ia tak lagi tinggal serumah dengan kami.

Memasuki lobi, seorang laki-laki berusia di akhir dua puluhan melambaikan tangannya ke arahku, berusaha mendapatkan perhatianku. Ia berdiri dekat pintu masuk lobi bersama para penjemput lainnya. Berpisah selama lima bulan tak membuat penampilannya banyak berubah hingga aku mudah mengenalinya. Kami pun saling bertukar senyum.

"Apa kabar, Ris?" sapa kakak sulungku ini.

Tak menjawab, kusambut tangannya dan kuberi kecupan hormat di bagian punggungnya.

"Ternyata merantau ke Bandung bikin kamu berubah, ya," ujar Mas Panji setelah kulepas tangannya.

"Berubah gimana?" sahutku.

"Sekarang kamu lebih ceria." Pria itu meraih tangkai koper di tanganku dan menariknya ke arahnya.

Aku menanggapinya dengan terkekeh.

"Atau sudah punya pacar?"

"Ngawur!" aku mencetus.

Dengan terkekeh, Mas Panji merengkuh bahuku dan membawaku keluar dari lobi menuju lahan parkir, di mana SUV hitamnya menunggu.

"Ada kabar dari Mbak Sarah?" Aku menanyakan kakak keduaku seraya melilit tubuhku dengan sabuk pengaman di samping jok pengemudi.

"Dia cuma bilang gak bisa pulang karena jatah cutinya tahun ini sudah habis. Mungkin tahun depan," jawab Mas Panji.

"Berarti tahun baru nanti kita gak bisa kumpul?" Bibirku mengerucut, membayangkan saat malam pergantian tahun nanti anggota keluargaku akan berkurang satu orang.

"Ya, sudahlah. Toh Lebaran nanti dia juga libur."

Mesin mobil yang kutumpangi ini menyala dan kemudian membawa kami keluar dari area stasiun, menuju rumah orang tua kami di kawasan Candi.

"Gimana kabar Mbak Fira?"

Mbak Fira adalah panggilan akrabku untuk istri Mas Panji, Safira. Ia seorang psikolog anak-anak yang bekerja di bagian pediatri suatu rumah sakit. Tugasnya adalah menangani pasien anak-anak yang menderita trauma psikologis. Dulu ia kuliah di kampus yang sama dengan Mas Panji, meski tidak pada fakultas yang sama. Dan bisa ditebak 'kan bagaimana mereka bertemu?

"Masih sibuk tapi sehat," Mas Panji menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan di luar, walaupun pagi itu belum terlalu banyak kendaraan yang melintas.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu