40. Memilikinya

62 16 62
                                    

Carissa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Carissa

"Aku ingin nikahin kamu."

Ternyata ucapannya di kafe dulu bukan main-main. Dan siapa yang tak bahagia dipinang lelaki yang selama dua setengah tahun terakhir ini mengisi hatiku? Hanya saja kalau Anesh tak mengucapkan kalimat berikutnya, mungkin aku akan langsung menjawab "Ya."

"Kamu gak perlu kerja di luar, Ris. Orang-orang yang bekerja di luar itu cuma orang-orang yang kesepian. Tapi aku bekerja di rumah. Kamu gak akan pernah kesepian." Itu artinya aku harus berhenti jadi sukarelawan di Pondok Mendongeng.

Lalu sanggupkah aku berpisah dengan anak-anak yang di setiap kedatanganku selalu berlari menghambur dan mendekap pinggangku? Mampukah aku melupakan semangat mereka yang selalu berebut ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan demi sebatang cokelat?

Bayang-bayang itu yang membuatku membiarkan Anesh pergi tanpa jawaban. Aku memahami rasa kecewanya hingga pesan-pesannya pun enggan memadati aplikasi percakapanku sejak ia mengantarku pulang semalam. Namun aku perlu waktu untuk menjawab pertanyaanku sendiri, apa aku sanggup hidup dengannya tanpa bocah-bocah itu?

Mbak Sasha adalah orang pertama yang kuberi tahu soal ini. Namun aku segera menyesali keputusanku setelah ia menjawab, "Ris, harta keluarganya Anesh tuh gak akan habis sampai tujuh turunan. Ngapain kamu harus kerja?"

Astaga. Ia pikir aku bisa hidup hanya dengan uang mereka.

Tampaknya aku tak punya pilihan selain bicara pada Ibu, meskipun awalnya mungkin beliau akan syok mendengarnya.

"Halo? Ada apa, Ris? Kok dua hari berturut-turut nelepon Ibu?" sambut Ibu. Ibu memang paling jago kalau merasakan sesuatu.

Aku mengawali ucapanku dengan kekehan. "Aku masih kangen Ibu," dalihku.

"Ah, masa? Kelihatannya ada yang ingin kamu omongin sama Ibu."

Benar, 'kan? Bahkan hanya dengan mendengar suaraku saja Ibu bisa membaca pikiranku.

"Memang ada sih, Bu," kekehku jengah.

"Ada masalah apa, Nduk? Uang sakumu kurang? Atau kamu berantem sama Anesh?"

"Eng .... Aku dilamar, Bu," akuku pelan.

Hening.

Aku tak mendengar jawaban Ibu maupun pekik histerisnya. Bahkan hela dan embusan napasnya saja tak tertangkap oleh telingaku.

"Ibu? Ibu gak apa-apa?"

"Ibu .... Ibu gak apa-apa, Nduk. Cuma kaget."

"Oh. Kirain ...."

"Tapi kamu gak itu, 'kan?"

Saat menyadari maksud Ibu, aku seketika terhenyak. "Ya ampun, Ibu! Ya gak mungkin lah," cetusku nyaris memekik.

✔Puisi untuk Carissa [EDITED VER.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang