delapan

74.2K 11.1K 164
                                    

"Buset, rame ya?"

"Lo sih kelamaan," Rea menoleh ke arah Savita tidak percaya.

"Heh, siapa juga yang maksa bawa gue kesana?" tanya Rea tidak terima dengan tuduhan Savita padanya yang katanya terlalu lama. Padahal kan, ia tidak meminta dibawa ke UKS.

"Gue gak maksa lo. Lo aja yang mau gue tarik tadi," Savita menjawab acuh sambil menaikkan kedua bahunya sebelum berjalan ke arah meja di pojokan yang hanya diisi oleh Vanya seorang.

Rea yang mengerutkan keningnya kesal melihat Savita yang meninggalkannya setelah mengatakan hal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Maksudnya, ia tidak minta dibawa ke UKS, gadis itu saja yang secara tidak langsung memaksanya ikut dengannya.

Meski ia kesal dengan Savita karena perkataannya, tapi ia sadar bahwa gadis itu adalah sosok yang sangat peduli padanya. Hanya saja, mungkin gadis itu gengsi(?) untuk mengakuinya langsung sehingga selalu memutarbalikkan perkataannya, agar seolah-olah ia terlihat tidak peduli.

Rea menahan senyumnya melihat punggung Savita yang menjauh sebelum mengikuti langkah gadis itu.

"Lo mau nasi goreng apa mie ayam?" Savita menoleh ke arah Rea yang baru datang, menyambut kedatangan gadis itu dengan pertanyaan. Rea yang baru sampai itu menaikkan kedua alisnya sebentar kemudian mengerut, tengah berpikir.

"Nasi goreng aja. Pedes, gak pake sayur. Minumnya es teh," Rea menyengir setelah mengucapkan pesanannya.

"Request lo. Duduk sana!" Savita menatap sinis Rea sebelum menyuruh gadis itu duduk dengan isyarat dagunya.

Rea tersenyum menatap punggung Savita yang mulai menjauh, sifat gadis itu mengingatkannya pada Olivia. Hah, ia jadi rindu sahabatnya itu.

"Gue duduk ya?" pamit Rea pada Vanya yang tengah meminum es tehnya. Vanya mengangguk.

"Duduk aja, Vita tadi udah bilang kok," Rea mengangguk sambil tersenyum, kemudian ikut duduk di kursi yang berhadapan dengan Vanya.

"Lo dari tadi sendirian?"

Vanya mendongak menatap Rea sebentar, sebelum kembali menunduk. "I-iya, gak ada yang mau makan sama aku."

"Hah? Kok gitu?"

"Iya, gara-gara aku sering di-bully Agam. Kamu tau sendirikan, anak-anak pada takut sama Agam," jawab Vanya sambil seseakali melirik ke arah Rea, tidak berani menatap gadis itu lama-lama.

"Yaudah, sama gue sama Savita aja. Kita mau kok makan sama lo."

"Bener tuh!"

Rea menoleh ke samping saat Savita baru datang dan ikut menyahuti perkataannya. Keduanya menatap Vanya dengan senyuman meyakinkan pada gadis itu.

Vanya menatap keduanya bergantian. Matanya berkaca-kaca terharu karena perkataan yang selama ini ingin ia dengar akhirnya terwujud. Ditambah yang mengatakannya adalah dua teman sekelasnya yang tidak terlalu peduli sekitar.

Rea dan Savita panik ketika melihat Vanya menangis. Keduanya saling menoleh bingung. Rea langsung berdiri dan mendekat ke arah Vanya, memegang pundak gadis itu.

"Eh, kok malah nangis sih? Lo nggak mau temenan sama kita?" Vanya menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Rea.

"E-hiks. Enggak gitu. Ak- hiks, aku terharu."

"Buset, kirain!" Rea menepuk pundak Vanya sedikit kencang sambil tersenyum lebar.

"Abis nolongin dia. Sekarang lo nge-bully dia juga, eh?"

Ketiga gadis itu menoleh ke asal suara, mereka menampakkan ekspresi yang berbeda-beda. Vanya yang terkejut kemudian menunduk karena takut, Savita yang menipiskan bibirnya sebelum berusaha memasang wajah biasa saja, dan Rea yang mengerut tidak terima tapi bibirnya merapat, berusaha untuk tidak menjawab perkataan cowok itu karena tidak mau membuatnya marah.

Am I Antagonist? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang