sembilan

73.2K 11.2K 621
                                    

"Gue mau ke toilet dulu."

Rea berdiri dari duduknya, keluar dari bangku setelah pamit pada Savita.

"Ditemenin gak?" Savita yang masih duduk di bangkunya berkata sedikit kencang.

"Lo mau ke kantin apa enggak?" Rea menghentikan langkahnya dan berbalik menatap teman sebangkunya.

"Pengen sih."

"Yaudah lo ke kantin aja. Ajak noh si Vanya. Ntar gue susul," Rea berkata lagi setelah melirik ke arah Vanya yang masih anteng di bangkunya, menunjuk gadis itu dengan dagunya sekilas sebelum berbalik melanjutkan langkahnya.

Agam yang duduk di bangkunya, memperhatikan gerakan Rea. Cowok itu bahkan ikut menatap ke arah Vanya saat gadis itu melirik ke arahnya.

Saat berangkat ke sekolah pagi tadi, ia bahkan sudah merencanakan apa saja yang perlu ia lakukan kepada Vanya, korban bully-annya semenjak gadis itu pindah ke sekolah ini. Bagi Agam yang merupakan anak pemilik sekolah, ia tidak terima jika sekolah elite-nya yang hampir semua muridnya adalah kalangan orang berada ini menerima siswa baru miskin meskipun ia adalah murid terpintar. Apalagi saat mengetahui anak miskin itu sekelas dengannya.

Ia ingin agar gadis itu keluar dari sekolahnya. Ditambah setiap kali melihat ataupun mengingat tentang Vanya, rasanya ia sangat geram dan ingin mengganggunya. Itu sebabnya hampir setiap hari di sekolah, ia habiskan untuk mengganggu Vanya hingga gadis itu lelah dan memilih keluar sendiri dari sekolah ini.

Ia tidak ingin merengek pada orang tuanya untuk mengeluarkan gadis itu seperti anak kecil manja. Ia bisa membuat gadis itu keluar dengan sendirinya, tanpa harus memperburuk nama baik sekolahnya hanya karena mengeluarkan siswa yang baru pindah karena beasiswa.

Tapi ketika ia sampai di kelas dan menyaksikan pemandangan Rea yang bertengkar dengan Nathan, pikirannya tak lagi pada rencananya mem-bully Vanya. Pikirannya langsung terfokus pada Rea, bayang-bayang gadis itu yang dengan berani menyelamatkan Vanya dari aksi pem-bully-annya pulang sekolah kemarin.

Ia tidak bisa mencengah otaknya memikirkan keanehan gadis itu sejak kemarin. Rea, selalu tidak peduli tentang apapun yang tidak bersangkutan dengan Nathan. Gadis itu tidak pernah repot-repot meliriknya saat mem-bully Vanya, selalu bersikap baik padanya dan teman-temannya, serta tidak pernah menegur apapun yang ia lakukan meski salah hanya karena mereka adalah teman baik Nathan. 

Ya, apapun yang gadis itu lakukan semata-mata hanya untuk Nathan meski Nathan tak pernah melakukan hal yang sepadan untuknya.

Fokus hidup Rea hanya Nathan seorang.

Namun, hal yang tidak biasa dari gadis itu terjadi sejak kemarin. Dimulai dari gadis itu membantu Vanya agar terbebas darinya, mengejeknya, pulang tanpa Nathan, dan bertengkar hingga memutuskan hubungannya dengan cowok itu.

Saat istirahat pertama hari ini juga tidak biasanya gadis itu mau berjauhan dengan Nathan, biasanya gadis itu akan lengket dan tidak mau dipisahkan dengan Nathan. Apalagi duduk bersama Savita dan Vanya? 

Dilihat-lihat Rea lebih dekat dengan Savita dan Vanya dibanding dengan Vera sekarang.

Agam berdiri dari duduknya secara tiba-tiba, keempat temannya yang lain menoleh kaget karena cowok yang dianggap sebagai ketua dari perkumpulannya itu bergerak tiba-tiba padahal sedari tadi diajak bicara hanya diam.

"Rooftop, Gam?" Vano, salah satu teman satu perkumpulan dengan Agam itu bertanya, mewakili pertanyaan teman-teman lainnya yang diam.

"Duluan aja, ntar gue nyusul," Agam menjawab tanpa menoleh sedikitpun, langkahnya menuju ke arah keluar kelas. 

Am I Antagonist? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang