dua puluh delapan

43.9K 7.6K 488
                                    

"Emang tadi ada apa, Sus? Kok Ayah sampe kambuh?"

Rea berjalan cepat di samping Sekar. Di belakang keduanya terdapat Bara yang ikutan berjalan cepat sambil menoleh ke kanan kiri seolah-olah tengah mengamati sekitar.

Cowok itu mengerutkan keningnya bingung. Tempat ini terasa familiar untuknya, tapi dimana?

"Akh!"

Bara memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Sekilas pandangannya memburam dan berputar-putar, beberapa kali juga menunjukkan kilasan sosok perempuan yang duduk di atas kursi roda dengan pandangan kosong lurus.

Tapi tak lama segera kembali seperti semula. Dengan buru-buru ia segera menyusul Rea yang telah jauh di depan sana setelah denyutan di kepalanya hilang.

Dalam hati ia bertanya-tanya, siapa perempuan itu? Ia seperti pernah melihatnya dan kilasan-kilasan tadi seperti kilasan ingatan miliknya. Tapi kapan?

"Tadi Bu Widya ke sini, Mbak," Rea otomatis menoleh ketika mendengar jawaban Sekar yang diluar dugaannya.

Mama? Kenapa Mamanya menemui Ayahnya? Bukankah dalam novel disebutkan tidak pernah ada seorangpun selain Rea yang menjenguk Wijaya?

"Pak Wijaya di kamar ini, Mbak!" Sekar mendekat ke salah satu pintu ruangan yang merupakan kamar rawat Wijaya. Rea ikut mendekat, jantungnya berdetak cukup kencang mendengar keributan yang dibuat oleh Wijaya sendirian di dalam sana.

"Emangnya Mama ke sini ada apa, Sus?" Rea bertanya sebelum Sekar sempat membuka pintu ruangan tersebut, perempuan berumur 20-an itu menoleh.

"Saya kurang tau juga, Mbak. Tadi Bu Widya minta ngobrol empat mata sama Pak Wijaya," Sekar menjawab, setelahnya membuka pintu ruangan tersebut. Membuat suara teriakan Wijaya semakin menjadi dan terlihat disana ada Suster Nuri juga yang tengah berusaha menenangkan.

"WIDYAA!!" Wijaya berteriak marah kemudian menangis.

"Pak Wijaya, harap tenang. Mari, minum dulu," Nuri yang baru datang saat shift siang tadi langsung menghampiri Wijaya saat menerima berita bahwa beliau tengah kambuh.

"GAK MAU!!"

Prangg

"SAYA MAU WIDYA!!" Wijaya melotot ke arah Nuri setelah menampik gelas air putih yang dibawa oleh Nuri.

Wijaya berusaha berdiri dari kursi rodanya, tubuhnya yang lemah karena sudah hampir tiga tahun depresi membuatnya kesusahan untuk berdiri.

"ARGHHH. KAKI BODOH!" Wijaya memukul-mukul kakinya sendiri. Rea yang melihat itu nampak berkaca-kaca. Ketiganya masuk, kemudian pintu ditutup lagi oleh Sekar.

Rea buru-buru mendekat, duduk bersimpuh di depan Wijaya dengan tangan yang mencekal kedua tangan pria itu.

"Ayah, ini Rea," nada bergetar terdengar jelas saat Rea berbicara, matanya menatap Wijaya dengan sendu berharap Ayahnya bisa langsung sadar.

Brukk

"KAMU BUKAN ANAK SAYA!" Wijaya melotot tajam ke arah Rea yang terdorong ke belakang karena ia dorong. Tatapan marah Wijaya bertubrukan dengan tatapan terkejut Rea.

Apakah Ayah Rea tahu ini bukan anaknya?

Perasaan sedih, kecewa, dan marah melebur jadi satu di dalam hatinya. Entah ini perasaan Rea asli atau perasaannya yang telah menganggap Wijaya Ayahnya sendiri, tapi rasanya sangat menyesakkan.

Bara yang melihat Rea terjatuh mendekat, berusaha membantu gadis itu untuk bangun. Wijaya yang melihat ada sosok lain mengalihkan pandangannya, ia mengamati cowok itu dengan teliti. Apakah itu Nathan yang sering dibicarakan Rea?

Am I Antagonist? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang