empat belas

67.5K 10.3K 419
                                    

Vanya menundukkan kepalanya, ia sama sekali tidak berani menatap Bara yang duduk di hadapannya.

"Lo jangan manfaatin Rea," Bara membuka suara setelah lama hanya keheningan di antara mereka. Vanya mendongak, menatap kaget ke arah Bara yang tengah menatapnya datar.

"Ma-maksud kamu?" Vanya sedikit tergagap, mengingat bahwa Bara sering kali menjadi saksi Agam mem-bully-nya meski ia ingat Bara tak pernah sekalipun ikut menyakitinya, itu tetap membuat perasaan waspada dalam dirinya muncul. Cowok itu hanya berdiri dan membiarkan Agam dengan yang lain mem-bully-nya.

"Gue perhatiin lo jadi deket sama Rea sejak dia bela lo waktu itu. Jangan manfaatin dia buat ngelindungin lo," Bara berkata kelewat datar. Vanya yang mendengar penuturan cowok itu sedikit kecewa.

Apakah seburuk itu ia di matanya?

"A-aku gak manfaatin Rea, Bar," Vanya menjawab dengan lirih. Bara diam, menunggu kelanjutan ucapan gadis itu.

"Gimana bisa aku manfaatin orang kayak Rea?" Vanya menatap sendu ke arah Bara, sedangkan cowok itu mengendikkan kedua bahunya acuh.

"Gak ada yang tau isi pikiran orang lain," Bara menaikkan sebelah alisnya menatap Vanya.

Vanya diam, menunduk mengumpulkan keberanian untuk kembali menatap Bara yang bahkan tidak repot-repot menunjukkan seulas senyum ketika berbicara dengannya.

"Rea orang pertama yang mau temenan sama aku," Vanya mendongak, menatap Bara dengan yakin. "Aku cukup sadar diri kok, posisi aku sama Rea beda. Makanya aku gak akan mendekat ke Rea kalo dia gak minta. Dia orang yang aku hargai karena mau ngebela aku disaat yang lain ikut ngejauhi aku. Gimana bisa aku manfaatin orang sebaik Rea?"

Vanya tidak berbohong akan perkataan yang keluar dari mulutnya. Sejak pertama kali Rea membantunya agar terlepas dari aksi pem-bully-an Agam waktu itu, ia sangat menghargai Rea. Ditambah saat Rea mengatakan mau berteman dengannya disaat semua anak ikut menjauhinya karena Agam.

Rea cahaya pertamanya di sekolah ini dan membawa Savita, cahaya kedua untuknya. Dengan dua orang yang ia sebut sahabat entah bagaimana mereka menganggapnya itu, ia jadi memiliki semangat lagi untuk melanjutkan sekolahnya di sekolah yang hanya menorehkan luka sejak kepindahannya dari sekolah lama.

Ia tak pernah sekalipun berpikiran ingin mencari perlindungan pada Rea agar selalu terbebas dari bully-an Agam. Entah bagaimana, semenjak Rea membantunya kala itu Agam memang belum lagi mem-bully-nya.

Tapi ia juga sudah meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap menghadapi bully-an Agam sendirian tanpa membiarkan Rea ikut campur apalagi atas permintaannya.

Ia tidak ingin Rea, teman pertamanya disini terluka hanya karenanya. Karena membelanya yang bukan apa-apa.

"Bagus kalo lo sadar," Vanya menatap Bara dalam. Rasa kecewanya sedikit hilang saat menyadari bahwa Bara berkata seperti itu bukan untuk menghinanya, tapi karena cowok itu tidak ingin Rea dimanfaatkan. Ia bisa melihatnya dari mata hitam kecoklatan milik Bara.

Gadis sebaik Rea memang patut untuk dilindungi.

"Jangan mikir macem-macem soal gue. Rea ngira gue suka sama lo, jadi dia pengen gue deket sama lo biar lo ada yang ngelindungi," Vanya yang sempat menunduk lagi mendongak, menatap Bara kaget mendengar perkataannya.

Rea sampai melakukan ini untuknya?

Senyumannya terbit saat memikirkan betapa beruntungnya ia dipedulikan oleh Rea. Ia mengangguk dan kembali menatap Bara dalam.

"Kamu sukanya sama Rea, kan?"

Vanya terkekeh pelan melihat Bara yang menegang. Dengan cepat, cowok itu merileks-kan tubuhnya dan bersikap sesantai mungkin.

Am I Antagonist? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang