empat puluh tiga

11.8K 1.4K 35
                                    

minta tolong komennya ya gaiss, supaya lusi makin semangat ngetik part selanjutnyaa

•••••

"Gue nanti pengen makan bakso deh."

Savita dan Vanya menoleh ke arah Rea yang memang berada di tengah keduanya. Mereka bertiga saat ini tengah berjalan menuju kantin. Kali ini mereka bisa berjalan cukup santai karena kelasnya di istirahatkan lebih cepat oleh guru Matematika mereka setelah mengadakan kuis dadakan.

"Terus minumnya es jeruk, beuhh," Rea memejamkan matanya membayangkan betapa nikmatnya memakan semangkok bakso yang kemudian tenggorokannya akan diguyur oleh es jeruk. Apalagi kondisi perutnya kini tengah lapar berat setelah semua energinya terkuras untuk mengerjakan kuis matematika dadakan pagi tadi.

"Aku juga mau pesen itu," Vanya menyahut dengan senyuman lebar. Ia juga ingin merasakan kenikmatan memakan semangkok bakso dengan minuman es jeruk yang dikatakan Rea.

"Gue juga deh," Savita ikutan menyahut, membuat Rea ikutan tersenyum lebar.

"Oke deh. Gue traktir!" seru Rea semangat.

"Gak perlu. Vanya gue yang traktir," raut ceria Rea langsung berubah bingung saat melihat Agam yang tiba-tiba menyahut sambil menarik tangan Vanya tanpa izin menjauhinya dan Savita. Savita yang melihat itupun ikutan bingung dan khawatir, takut Vanya diapa-apakan oleh Agam.

Vanya yang sebenarnya juga bingung mengapa Agam tiba-tiba menariknya hanya bisa menurut sambil sesekali menoleh ke arah Rea dan juga Savita.

"Loh, eh? Mau lo bawa kemana Vanya?" Rea bertanya dengan suara yang cukup keras, berharap Agam mendengarnya.

"Gue traktir," jawab Agam dengan suara keras, tanpa repot-repot menolehkan wajahnya sambil terus berjalan hingga keduanya benar-benar menjauh.

"Sav, Vanya gapapa, kan?" tanya Rea khawatir pada Savita. Sedangkan Savita yang mendengarnya diam sebentar.

"Iya, gapapa. Udah beberapa kali juga kan Vanya sama Agam bareng. Buktinya Vanya aman-aman aja," Savita menjawab berusaha meyakinkan Rea dan juga dirinya sendiri. Meski beberapa kali Vanya dan Agam terlihat memiliki hubungan yang lebih baik, tapi sedikit banyak ia sebagai teman Vanya merasa khawatir saat melihat gadis itu bersama cowok yang dulunya sering kali mem-bully-nya.

"Beneran, kan?" tanya Rea memastikan.

"Udah, santai aja, Re. Agam udah gak nge-bully Vanya lagi, kok. Gue saksinya," Vano tiba-tiba datang dan merangkul lengan Savita, membuat gadis itu sempat berjengit kaget. "Udah kepincut paling sama si Vanya," celetuk cowok itu lagi diakhiri dengan tawanya yang renyah.

Rea mengerutkan keningnya kesal mendengar suara tawa Vano yang terdengar menyebalkan di telinganya. Tapi, meski begitu ia jadi sedikit lebih tenang karena perkataan cowok itu. Tenang lantaran merasa bahwa ia tidak perlu terlalu mengkhawatirkan Vanya lagi ketika bersama Agam, serta tenang ketika tahu bahwa ia tidak merusak kisah cinta antara pemeran utama di novel yang ia masuki ini.

Berbicara mengenai novel yang berjalan sesuai alur utamanya, ia jadi teringat dengan nasib buruk tokoh Rea di novel. Apakah nasibnya berubah? Atau tidak? 

Teringat akan hal tersebut membuat Rea menjadi diam dengan tatapan kosong. Bara yang datang bersama Vano dan berdiri di samping gadis itu merasa aneh dengan perubahan suasana hati kekasihnya. 

"Lo gapapa?" Rea menoleh ke arah Bara yang bertanya lirih di telinganya. Ia sedikit kaget lantaran tidak sadar sejak kapan cowok berperawakan tinggi itu berdiri di sampingnya.

"Loh, sejak kapan lo di sini?" tanya Rea sambil menatap Bara dengan kening berkerut bingung.

"Tadi barengan sama Vano," jawab Bara sambil menggerakkan dagunya ke arah Vano yang asik mengobrol dengan Savita. Bukan, lebih tepatnya cowok itu yang mengoceh sedangkan Savita yang mendengarkan.

Am I Antagonist? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang