tiga puluh satu

44.7K 7.2K 329
                                    

"Kalian semua ngapain pada ke sini sih?"

Rea menatapi satu persatu orang yang kini tengah duduk di ranjang tempatnya berbaring dan juga yang berdiri mengelilingi ranjangnya. Ia heran mengapa jadi banyak sekali yang berada di sini, padahal tadi ia hanya menuju ke UKS bersama Savita dan Vano.

"Gue tadi liat lo jatuh, ya langsung ke sini aja. Gue kepikiran pensi kita tau," Ricard yang datang beberapa menit setelah mereka bertiga beserta Bara sampai di UKS menatap Rea sambil menjelaskan tujuannya datang.

"Gue diajak Ricard," jawaban singkat Leo membuat Rea mengangguk-angguk paham. Gadis itu kemudian beralih menatap ke arah Bara.

"Kalo lo?" tanyanya dengan alis naik sebelah. Bara mendelik kaget saat menyadari Rea mempertanyakan kehadirannya. Bukankah ia sudah bisa dianggap dekat dengan gadis itu karena sudah sampai bertemu Ayahnya? Tapi kenapa gadis itu masih bertingkah seolah-olah keduanya tidak akrab?

Apa cuma ia yang berharap lebih?

"Kan gue dateng bareng sama Vano," Vano yang namanya disebut-sebut menoleh bingung. Bara yang tahu mulut Vano sedikit lemes menyenggol lengan cowok itu, memberi kode agar mengiyakan saja.

"Dih apaan, lo yang ngikut-ngikut ya. Mana ada dateng bareng," seolah tidak peka, Vano tetap menyahut dengan nada nyolot. Bara menghela nafas lelah karena tingkah laku temannya yang kelewat tidak setia kawan itu.

Rea yang melihat itu menahan senyumnya. Senang karena Bara khawatir padanya, mungkin?

"Eh, Re. Kalo lo kayak gini gimana sama pensi-nya?" Ricard kembali bersuara setelah hening beberapa detik. Perkataannya mengundang perhatian semua yang ada di sana.

"Emang kenapa sama Rea?" tanya Vano bingung. Maksudnya, apa hubungan antara kakinya yang keseleo dengan acara pensi?

"Ya kalo Rea kayak begini, gimana sama pensi-nya? Dia kan vokalis," Ricard menatap Vano dengan kening sedikit berkerut, kesal karena temannya tidak langsung paham dengan pertanyaannya.

"Ya pensi tinggal pensi-lah, anjir. Kan Rea nyanyi bukan salto. Gimana sih?" Vano menatap Ricard bingung. Sedangkan yang ditatap menghela nafas, berusaha sabar menghadapi tingkah Vano yang membuat orang gemas. Gemas dalam artian ingin menyambit cowok itu.

"Bukan gitu maksud gue. Kan lagu yang kita bawain genre Pop-Rock. Masa iya, si Rea mau diem aja pas nyanyi?" Ricard menatap Vano sembari menunjuk Rea sekilas di kalimat terakhir dengan gerakan kepala. Vano mengangguk-angguk paham mendengarnya.

"Iya juga sih ya. Apa lo mau ganti lagu aja, Re?" Vano menoleh ke arah Rea dengan kedua alis naik, menunjukkan ekspresi menawarkan.

"Buset, enak banget ya lo kalo ngomong. Gue semaleman tuh ngehafalin lirik rap-nya 'beggin'. Masa iya gak jadi dinyanyiin, terus lo nyuruh gue ngehafalin lagu lain?" Rea mendelik ke arah Vano, sedikit kesal jika mengingat perjuangannya semalaman menghafalkan lirik rap lagu yang akan mereka bawakan dengan susah payah, tapi dengan seenaknya cowok itu mengajak ganti lagu.

Tolong saja, lirik rap lagu 'beggin' itu sudah panjang, intonasinya juga cepat. Rea sering kali lidahnya terbelit-belit saat menghafalkannya dulu. Bahkan meski sekarang sudah hafal, ia masih sesekali ketukannya tidak pas karena memang saking cepatnya.

Kalau harus ganti lagu, ia pasti juga harus menghafalkannya lagi. Latihan mereka juga harus diulang lagi. Lebih baik mereka tampil tetap dengan lagu 'beggin', meski ia bernyanyi dengan diam saja. Benar kan?

"Ya udah, tetep pake lagu kemarin aja. Kasian kalo Rea harus ngehafalin lagu baru. Belum juga latihan dari awalnya, kan?" Bara buka suara, mengundang perhatian seluruhnya. Vano mengangguk setuju.

Am I Antagonist? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang